Kelasku adalah sebuah group band
Saya ingin cerita kisah Victor Wooten seorang musisi, pemain bass, dimasa kecil awal dia belajar bermusik. Pada saat dia lahir, kakak-kakaknya sudah bermain musik dan membentuk sebuah band keluarga. Band itu kekurangan seorang pemain bass. Yang dilakukan kakaknya adalah mengajak victor kecil berada ditengah tengah band yang sedang bermusik dan dan kakaknya menyiapkan kursi kecil dan gitar mainan dari plastik diatasnya. Victor kecil langsung duduk dikursi itu, mengambil gitar plastik dan seolah dia juga adalah salah satu player. Kakaknya tidak mengarahkannya bagaimana memegang atau memainkan notes gitar dengan benar, kakaknya hanya ingin Victor disitu dan merasakan 'groove' dari musik. Dia ingin Victor bisa menemukan kesenangan dalam bermusik. Seorang anak kecil akan terlihat senyum bahagia meski hanya berimajinasi seolah bergitar, jangan interupsi atau senyum itu akan hilang seketika.
Victor menjadi pemain bass yang fungsinya sebagai rythm atau penjaga ritme agar musik lebih enak terdengar. Ada beberapa prinsip dalam bermusik atau nge-band bagi Victor. Prinsip-prinsip ini yang menurut saya bisa diadopsi dalam pembelajaran dikelas.
Pertama, ciptakan suasana 'groove' atau menurut saya suasana nyaman/menyenangkan. Sifat dasar manusia adalah mencari hal yang membuat dirinya nyaman dan cenderung menghindari hal-hal yang berlawanan. Suasana nyaman akan membuat setiap pemain dalam sebuah band akan melibatkan diri secara total, dalam artian perasaan, pikiran dan tubuhnya ada disitu. "Rasa" menjadi penting, karena pada dasarnya orang akan lebih mengingat apa yang dirasakan dibanding apa yang dipikirkan. Seorang musisi besar seperti BB King diingat karena petikan gitarnya menyentuh perasaan kita, meski mungkin secara skill dan teori bergitar, BB King berada diurutan kesekian. Kesederhanaannya justru menjadi kekuatan.
Jika prinsip ini diadopsi dalam pembelajaran dikelas, maka semua orang, dosen dan mahasiswa, harus berusaha agar 'groove' didalam kelas tercipta, agar dalam proses pembelajaran (bermusik) semua orang tidak akan segan-segan melibatkan diri secara total (dalam pembelajaran disebut sebagai engagement). Dalam sebuah percakapan dengan beberapa alumni, mantan mahasiswaku, saya bertanya apa yang paling mereka ingat ketika kuliah dulu? jawaban mereka antara lain, sedih karena diusir dosen keluar, senang karena metode menyenangkan, seru, tegang dst. Rata-rata berkenaan dengan perasaan. Jadi jangan remehkan perasaan.
Bagaimana jika ada yang lagi sedih, galau, marah atau perasaan negatif lainnya? maka yang galau tersebut harus jujur dan terbuka dengan orang dikelas, dan tugas teman-temannya membuatnya merasa nyaman. Begitupun dalam band, jika ada yang lagi sensi, maka dia akan jujur sampaikan dan kita sama-sama mencoba membuat 'groove' agar pelan-pelan kita sudah "satu frekuensi" dan kita bisa bermusik dengan enak. Terkadang, malah berada di studio musik atau sekedar berada didalam kelas, menjadi serupa healing therapy jika 'groove'nya ada.
Prinsip berikutnya adalah mendengar. Jika anda bermain bersama 4 pemain musik hebat diatas panggung dan tidak ada yang saling mendengarkan satu sama lain, setiap orang bermain dengan kehebatannya sendiri, maka musiknya akan terdengar jelek, dan kehebatan setiap pemain akan jatuh. Tapi jika kita saling mendengarkan dalam bermain, maka musiknya akan terdengar bagus dan pada titik ini tidak ada pemain yang lebih hebat dibanding pemain lainnya. Hal ini bisa juga diaplikasikan didalam kelas, dimana kita semua harus bisa saling dengar, tidak peduli anda dosen atau mahasiswa. Jika didalam kelas kita saling mendengarkan, maka kita akan membuat sebuah proses pembelajaran yang lebih maksimal dalam mencapai sasaran belajarnya atau dalam bermusik, akan tercipta musik yang nikmat didengar.
Prinsip ketiga adalah saling menguatkan (empowering). Ini ada hubungannya dengan prinsip pertama dan kedua. Victor menceritakan pengalamannya mengajak seorang penonton naik ke atas panggung dan memintanya memegang bass dan pemain lain mulai memainkan musik. Penonton yang bukan pemain profesional mulai merasakan 'groove' dan tubuhnya mulai bergoyang. Tanpa terasa dia mulai memainkan bass-nya dan bermain seolah pemain profesional lainnya di panggung. Tiba-tiba, audiens disuguhkan musik yang renyah terdengar. Tanpa terasa kehebatan pemain band lain membuatnya menjadi pemain bass hebat. Sampai saat ini, dia masih terus bermain bass.
Hal yang kurang lebih sama seharusnya terjadi didalam kelas dimana semua orang saling menguatkan, membuat orang lain terlihat hebat. Peran dosen (saya lebih senang menyebutnya fasilitator) adalah sebagai penjaga ritme (sebenarnya bukan hanya dosen, tapi murid juga, cuma dosen seharusnya lebih terampil dalam memainkan peran ini). Victor Wooten dalam video disini membuktikan secara langsung bagaimana dalam bermusik sebagai penjaga ritme kita bisa membuat permainan orang lain menjadi lebih enak terdengar meskipun dia berada pada chord yang salah. Jika didalam kelas dosen bisa memainkan peran penjaga ritme, maka peserta belajar tidak akan merasa takut salah karena kehadiran penjaga ritme, sehingga kesalahannya bisa jadi bisa berubah menjadi hal yang bagus, syukur-syukur dari situ ada hal baru ditemukan (inovatif). Saya membayangkan jika hal ini terjadi, murid akan semangat menjadi pembelajar, atau dalam kasus Victor diatas, dia akan terus menjadi pemain bass.
Victor Wooten telah menginspirasi saya, yang kebetulan senang bermusik dan tergabung dalam sebuah band bernama the Lectors, membayangkan bahwa kelas saya adalah sebuah group band, dan dalam proses pembelajaran seolah kelas kami adalah studio atau bahkan sebuah panggung. Skuy! 😉
Comments
Post a Comment