Nikmatnya Teori Konspirasi di Tengah Pandemi


Terjadi 2 hal saat ini, pandemi virus covid19 pada saat yang sama epidemi mis-informasi. Padahal, satu saja yang terjadi diantara kedua hal itu maka akan terjadi petaka. Sepertinya kita harus bisa menerima bahwa kedua hal tersebut seolah teman jalan yang sulit untuk dipisahkan.
Untuk hal pandemi global virus corona ini kita sudah menyerahkannya pada ahli virulogi, sulit bagi kita yang awam untuk melibatkan diri dalam "perlombaan" menemukan vaksin.
Namun "virus mis-informasi" yang seolah menjadi pupuk menumbuhkan suburkan teori konspirasi, semua orang (harus) bisa terlibat untuk mempelajari dan kemudian mencari serupa vaksin karena "virus" ini berpotensi menginfeksi siapa saja, bersemayam jauh dalam alam bawah sadar dan kita menjadi carrier sepanjang hidup kita, lalu mendarah daging, kemudian menjadi tabiat dan berakhir dengan menikmatinya.
Jonathan meyakini bahwa sejarah menunjukkan setiap epidemi yang sangat kuat mengancam jiwa akan menghasilkan teori konspirasi sendiri dan, tentu saja, mengikut kambing hitamnya.
Sebagai contoh, Kematian Hitam, yang telah membunuh sekitar 30 persen dari populasi dunia pada abad ke-14, secara luas disalahkan pada orang-orang Yahudi dan melahirkan banyak kiasan anti-Semit yang berlanjut hingga hari ini.
Jadi, tidak mengherankan bahwa teori konspirasi pandemi saat ini juga berfungsi sebagai mekanisme menenangkan diri, sebagai upaya untuk membuat apa yang tampaknya tidak masuk akal menjadi masuk akal, mereka dijadikan senjata baik bagi pemerintah atau individu (straitstimes, 2020).
Di antara banyak teori konspirasi yang gencar menyebar adalah bahwa covid19 ini adalah virus yang dilarikan dari beberapa laboratorium Cina di Wuhan atau virus ini adalah salah satu jenis bioweapon. Sebelum jauh menilai benar salahnya, mari kita coba paham apa sebenarnya teori konspirasi itu?
Apa itu Teori Konspirasi?
Bulan maret 2020 lalu, Stephan Lewandowsky dari School of Psychological Science, University of Bristol, University of Western Australia dan CSIRO Australia bersama rekannya John Cook dari George Mason University menerbitkan sebuah Buku dengan judul "The Conspiracy Theory Handbook". 
Disitu dijelaskan bahwa yang namanya aktifitas konspirasi itu memang riil terjadi di dunia. Beberapa contohnya antara lain perusahaan mobil Volkswagen berkonspirasi mengelabui tes emisi untuk rancangan mesin diesel mereka, perusahaan rokok memanipulasi publik mengenai efek merusak kesehatan dari merokok atau badan keamanan nasional Amerika Serikat secara rahasia memonitor aktifitas internet warga sipilnya. Semua contoh konspirasi diatas bisa diketahui dan diyakini terjadi melalui dokumen internal perusahaan, investigasi pemerintah atau dari pelapor (whistleblowers).
Disisi lain, teori konspirasi cenderung bertahan lama meskipun tidak didukung oleh bukti yang kuat dan didasarkan pada berbagai pola berfikir yang diketahui tidak bisa diandalkan dalam melacak realitasnya. Menariknya, meskipun demikian teori konspirasi ini tetap bertumbuh, berkembang dan bertahan lama. Contohnya, meskipun sudah beberapa dekade sebagian besar warga AS percaya bahwa pemerintahnya menutupi kebenaran tentang kematian presiden JFK atau bahwa serangan 911 itu adalah konspirasi "orang dalam".
Godaaan Teori konspirasi
Setidaknya ada ada 4 faktor yang membuat teori konspirasi menjadi populer; pertama, perasaan tidak berdaya/rapuh (Brophy S, 2018). Orang yang merasa tidak berdaya atau rapuh lebih cenderung menjadi pendukung teori konspirasi. Hal ini bisa terlihat atau sangat terasa terutama pada ruang-ruang diskusi online semisal grup whatsapp.
Kedua, mekanisme menghadapi ancaman. Ketidak-berdayaan diatas muncul dalam menghadapi ancaman dan mendorong untuk menyalahkan pihak lain: para konspirator (Franks & Bauer, 2013). Hal ini terjadi karena manusia agak sulit menerima terjadinya sebuah peristiwa besar yang disebabkan oleh hal kecil/biasa saja, dan teori konspirasi hadir memenuhi kebutuhan akan sebuah sebab besar.
Ketiga, penenang dalam ketidakpastian. Teori konspirasi menawarkan penjelasan yang seolah rasional untuk peristiwa yang tidak dianggap tidak lazim dan menawarkan sebuah penjelasan dalam masa-masa sulit dan penuh dengan ketidakpastian
Keempat, penantang arus utama. Teori konspirasi digunakan untuk menantang pemikiran atau interpretasi arus utama atau dominan (Sapountzis & Condor, 2013). Menantang narasi arus utama dilakukan untuk menegaskan atau mengklaim status minoritas.
Kehadiran internet dan media sosial berperan penting dalam menyebarkan dan membuat teori konspirasi semakin naik daun. Absennya penjaga gerbang atau penyaring informasi di media sosial mempercepat penyebaran mis-informasi dan disupport oleh tampilnya akun palsu atau bots yang memang tugas utamanya adalah menyebarkan hal sejenis. Disisi lain, para konsumer teori konspirasi cenderung untuk "like" dan "share" di Facebook (Bessi, 2015).
Dampak teori konspirasi
Meskipun populer dan konsumernya menjadi bertambah, teori konspirasi mampu menimbulkan keburukan bagi masyarakat, misalnya menjadikan masyarakat tidak berminat untuk terlibat dalam politik atau dalam perumusan kebijakan pemerintah. Hebatnya, teori konspirasi memiliki konsekuensi yang merugikan tidak hanya bagi pihak yang diserangnya tetapi juga pihak-pihak disekitarnya yang justru tidak terkait langsung.
Sebagai ilustrasi, teori konspirasi yang menyatakan adanya manipulasi data pengangguran yang berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pelayanan oleh lembaga pemerintahan, tetapi juga termasuk juga kepada institusi pendidikan, pun kepada lembaga administrasi obat dan makanan yang tidak terkait langsung dengan serangan teori konspirasi.
Teori konspirasi sebagai taktik
Teori konspirasi tidak saja beredar karena murni kesalahan berfikir tapi juga sebagai sebuah langkah atau taktik yang disengaja demi kepentingan strategis atau kepentingan politik tertentu. Terbukanya bukti-bukti kuat keterlibatan pemerintah Rusia dalam menyebarkan teori konspirasi di barat bisa dijadikan contoh.
Meskipun teori konspirasi menunjukkan dengan jelas salah satu cirinya yaitu ketidak-logisan atau kontradiksi internal (misalnya klaim bahwa temperatur iklim tidak dapat diukur secara presisi tetapi juga percaya bahwa iklim global menurun) tetapi pendukungnya tetap yakin dan mengklaim bahwa teorinya rasional. Hal ini dilakukan sebagai strategi retorika politik yang efektif untuk memperlambat aksi-aksi perlindungan lingkungan hidup dengan merusak atau mengganggu persepsi publik tentang kekuatan dari bukti-bukti ilmiah yang ada. Disini, dia menjadi alat untuk mencapai kesimpulan yang diinginkan.
Sifat-sifat teori konspirasi
Setidaknya ada 7 sifat yang dimiliki oleh teori konspirasi; pertama, Kontradiktif. Secara simultan menunjukkan kontradiktif, misalnya percaya bahwa Putri Diana dibunuh tapi juga percaya teori bahwa dia memalsukan sendiri kematiannya (Wood, 2012). Juga percaya bahwa pandemi adalah ini adalah rekayasa untuk kepentingan ekonomi AS tetapi percaya bahwa WHO adalah kaki tangan China. Ini karena mereka bersikeras untuk tidak percaya pihak "resmi".
Kedua, curiga berlebihan. Kecurigaan ini terutama pada lembaga-lembaga resmi dan menolak apapun yang tidak sesuai atau bertentangan dengan teorinya (Keeley, 1999)
Ketiga, niat jahat. Teori konspirasi tidak pernah menyodorkan pemikiran bahwa para konspirator memiliki motivasi yang ramah tetapi para konspirator akan selalu dituduh memiliki niat jahat (Keeley, 1999)
Keempat, ada yang salah. Meskipun teori konspirasi bisa dengan gampang meninggalkan ide-ide spesifiknya yang sudah terbantahkan, tetapi mereka tidak akan mengubah kesimpulan besarnya bahwa "ada yang salah" dan pernyataan dari pihak resmi adalah penipuan (Wood, 2012)
Kelima, korban yang teraniaya. Para ahli dan pendukung teori konspirasi mempersepsikan dan menampilkan diri sebagai korban dari sekelompok konspirator jahat. Pada saat yang sama menampilkan diri sebagai antagonis jahat dari para konspirator jahat itu. Berfikir konspiratif mendorong persepsi diri sebagai korban sekaligus pahlawan (Lewandowsky, 2015).
Keenam, kebal dengan bukti. Para ahli dan pendukung teori konspirasi sangat tertutup, bukti-bukti yang ditunjukkan yang bersebarangan dengan teorinya, akan dianggap sebagai bukti-bukti yang bersumber dari para konspirator. Semakin kuat bukti yang dihadapkan kepada mereka, semakin mereka percaya bahwa para konspirator ingin membuat masyarakat percaya kepada mereka (Bale, 2007).
Ketujuh, Menfasirkan ulang kejadian. Kecurigaan berlebihan mendorong para teori konspirasi untuk meyakini bahwa tidak ada kejadian yang terjadi secara kebetulan (Barkun, 2003). Kejadian kecil secara acak misalnya ada kaca jendela yang masih utuh di kantor Pentagon setelah serangan 9/11 akan ditafsirkan sebagai bukti adanya konspirasi (karena harusnya semua kaca jendela pecah dalam serangan ke Pentagon) dan kejadian itu akan dihubung-hubungkan dengan pola lain yang lebih luas.
Melindungi publik dari teori konspirasi
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah antara lain mengurangi penyebaran teori konspirasi. Tentu saja, mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk memperlambat atau mencegah penyebaran yang masif dari teori konspirasi ini, pada tingkat individu hal yang bisa dilakukan adalah membekali diri dengan 4 pertanyaan sebelum me-like dan/atau share sebuah postingan konspiratif.
Empat pertanyaan tersebut adalah: (1) Apakah saya kenal dengan media yang mempostingnya? (2) apakah postingannya terasa masuk akal? (3) apakah gaya penulisannya berasal dari ahli/expert? (4) apakah postingan itu ada motif politiknya?. 
Hal lainnya adalah melakukan pencegahan, penolakan (prebunking). Ketika orang menyadari bahwa mereka berpeluang untuk disesatkan maka mereka akan mengembangkan ketahanan diri terhadap pesan konspiratif. Ada 2 elemen penting disini; pertama, memberikan peringatan secara eksplisit tentang ancaman disesatkan dan kedua, bantahan terhadap argumentasi yang salah tersebut. 
Berikutnya adalah melakukan bantahan (debunking). Ada beberapa cara untuk membantah teori konspirasi yang sangat efektif jika dilakukan oleh orang-orang yang cenderung tidak gampang percaya yaitu akademisi. 4 gaya yang ditawarkan dalam memberikan bantahan.
Pertama, bantahan berbasis fakta. Menunjukkan informasi yang akurat terbukti efektif seperti bantahan terhadap informasi bahwa Presiden Obama lahir diluar AS. ini juga bisa didukung dengan mengarahkannya ke fasilitas fact-checkers
Kedua, bantahan berbasis logika yaitu dengan menunjukkan sebuah kesesatan dalam teknik berfikirnya misalnya menunjukkan bahwa penelitian vaksin banyak dilakukan secara secara independent dan didanai oleh publik untuk membantah teori bahwa vaksin itu kepentingan industri farmasi tertentu.
Ketiga, bantahan berbasis sumber. Bantahan yang diarahkan pada sumber akan membuat teori konspirasi menjadi rapuh atau kehilangan kredibilitas. Keempat, Bantahan berbasis empati. Bantahan ini dilakukan dengan meminta orang agar juga memperhatikan pandangan, perasaan orang yang dijadikan target teori konspirasi.
Hal terakhir yang bisa dilakukan untuk melindungi publik adalah dengan melakukan pemberdayaan. Cara berfikir konspiratif lekat dengan perasaan kehilangan kontrol (tidak berdaya) dan merasa terancam. Ketika merasa terancam dan tidak berdaya, maka cara berfikir konspiratifnya akan semakin meningkat. Begitupun sebaliknya, ketika merasa berdaya dan tidak merasa terancam, maka dia semakin kebal.
Beberapa hal yang bisa dilakukan agar berdaya secara kognitif adalah mendorong orang untuk berfikir analitis daripada mengandalkan perasaan/intuisi mereka, dan mendorong untuk meyakini bahwa keputusan masyarakat atau pemerintah layak untuk diikuti karena memiliki prinsip keadilan prosedural dan pemerintah telah membuktikan diri untuk dipercaya.
Bagaimana berhadapan ahli/pendukung teori konspirasi?
Para ahli/pendukung teori konspirasi mendasarkan kepercayaannya pada apa yang mereka yakini dari hasil pembicaraan diantara mereka sendiri, dan setiap kepercayaannya itu akan dijadikan dasar dari keyakinan-keyakinan mereka yang lain (Goertzel, 1994).
Ketika mereka mendapatkan bantahan misalnya di Facebook maka mereka akan beralih untuk me 'like' dan 'share' konten-konten konspiratif didalam ruang gema mereka sendiri, atau Zollo menyebutnya bantahan menguatkan interaksi diantara pendukung teori konspirasi (Zollo, 2017). Teori konspirasi adalah bumbu yang selalu ada dalam ekstrimisme politik (Kundnani, 2017). 
Beberapa tips yang ditawarkan ketika berhadapan dengan ahli/pendukung teori konspirasi bisa diadopsi dari sebuah penelitian tentang deradikalisasi.
Pertama, kita mengutip orang yang ahli/pendukung teori konspirasi tetapi sudah meninggalkan atau tidak lagi percaya teori konspirasi (insyaf?). Kedua, pendekatan empatik dimana kita menunjukkan kerelaan untuk keterbukaan pikiran dan meminta/berharap mereka  melakukan hal yang sama (kita menjadi contoh).
Ketiga, mengapresiasi pemikiran kritis mereka yang ditujukan kepada pemerintah misalnya dan menawarkan pemikiran kritis itu juga digunakan kepada siapa saja termasuk kepada teori konspirasi yang didukungnya. Keempat, secara aggresive mendekonstruksi argument mereka dan fokus untuk memenangkan adu argumentasi.
Sebagai penutup, bagaimana pun, terlalu utopis untuk membuat semua orang memiliki cara pandang atau perasaan yang sama, tapi paling tidak titik minimal adalah kita semua kritis terhadap apa yang kita miliki. Semoga pandemi ini cepat berakhir. Aamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda