Revolusi Senyap Market Society

Ada pertanyaan yang harus kita jawab secara bersama. Seperti apa sebaiknya peran uang dalam masyarakat? Tulisan ini ingin menceritakan kembali bagaimana Michael J. Sandel menjawab pertanyaan tersebut dalam sebuah presentasinya di Edinburgh, Juni 2013 lalu yang diberi judul “kenapa kita sebaiknya tidak mempercayakan mekanisme pasar mengatur kehidupan sosial kita”.

Sandel menceritakan bahwa di Santa Barbara, California, ada penjara yang jika tahanan tidak suka dengan fasilitas standar penjara, maka dia bisa membayar $82 per malam untuk upgrade kualitas fasilitas kamar penjara.

Jika anda pergi ke theme park, dan anda tidak ingin mengantri panjang di satu wahana yang populer, sekarang sudah ada solusinya. Di hampir semua theme park anda bisa membayar agar anda bisa langsung ditempatkan di antrian terdepan. Orang menyebutnya jalur cepat atau tiket VIP.

Di Washington DC, antrian panjang biasanya terjadi untuk menghadiri hearing oleh congress tentang isu-isu yang hangat. Beberapa orang seperti para lobbyist atau kelompok kepentingan lain, sangat bersemangat untuk ikut, namun tidak ingin mengantri panjang. Antrian bisa berjam-jam, kadang dalam cuaca yang dingin. Bagi mereka yang tidak ingin mengantri, sekarang ada beberapa “perusahaan antrian” yang menyediakan jasa antrian. Perusahaan ini menyewa pengangguran, orang yang butuh pekerjaan atau orang yang membutuhkan uang untuk mengantri bagi pengguna jasanya. Dan akhirnya para pengguna jasa mereka bisa mendapatkan kursi paling depan. Inilah yang terjadi, mekanisme pasar atau cara berfikir pasar pada arena yang lebih luas.

Tahukah anda bahwa di perang Iraq dan Afghanistan, lebih banyak kontraktor militer swasta di medan perang dibanding pasukan militer AS? Ini terjadi bukan hanya karena adanya debat publik tentang apakah kita perlu melakukan outsourcing pada pihak swasta untuk melakukan perang, tapi yang terjadi adalah pada 3 dekade terakhir, telah terjadi revolusi senyap. Kita terseret, tanpa kita sadari, dari ekonomi pasar (market economy) menjadi masyarakat pasar (market societies).

Bedanya di mana? Ekonomi pasar pada dasarnya adalah alat, sebuah alat yang berharga dan efektif dalam pengelolaan kegiatan produktif. Sementara masyarakat pasar adalah di mana semua hal adalah untuk dijual. Ini sudah menjadi semacam jalan hidup di mana cara berfikir dan nilai-nilai pasar telah menjadi dominan dalam seluruh aspek kehidupan: hubungan personal, kehidupan keluarga, kesehatan, pendidikan, politik, hukum, kehidupan sosial.
Kita harus khawatir
Apakah kita harus khawatir dengan Market Societies? Ya, ada 2 alasan mengapa ini harusnya membuat kita khawatir.
Pertama, berhubungan dengan ketidaksetaraan (inequality). Semakin banyak hal yang harus dibeli dengan uang, semakin penting isu ketidaksetaraan. Jika uang hanya untuk mendapatkan akses menggunakan yacht, untuk liburan mewah, untuk membeli mobil mewah BMW, maka ketidaksetaraan tidak akan menjadi isu yang krusial. Tapi ketika uang menjadi faktor determinan dan mengatur akses pada hal-hal yang esensial bagi kehidupan yang layak, seperti; pelayanan kesehatan yang baik, akses pada pendidikan yang terbaik, hak suara dalam politik dst, maka isu ketidaksetaraan menjadi krusial. Marketisasi pada segala hal hanya akan mempertajam sengatan ketidaksetaraan beserta seluruh dampak sosialnya.
Kedua, terjadinya pergeseran makna, nilai dan motivasi prilaku sosial. Ketika cara berfikir atau nilai-nilai pasar masuk dalam ranah sosial, maka akan melempar keluar sikap dan norma norma sosial yang baik dalam masyarakat. Mari kita lihat dalam contoh praktik yang sangat lazim dalam mekanisme pasar: pemberian insentif uang.
Saat ini banyak sekolah di AS yang mengalami kendala dalam memotivasi anak-anak agar giat belajar, terutama pada anak-anak yang berasal dari latar belakang kurang mampu. Beberapa ekonom menawarkan solusi dengan cara berfikir pasar yaitu memberikan insentif uang bagi anak-anak yang mendapatkan nilai ujian yang tinggi atau untuk sekedar mau membaca buku. Solusi ini telah dilakukan dibeberapa kota besar di AS; New York, Chicago, Washington DC, mereka memberi $50 untuk nilai A, $35 untuk nilai B. Di Dallas, mereka menjalankan program insentif memberikan $2 bagi anak umur 8 tahun untuk setiap buku yang mereka baca.
Eksperimen insentif uang sebesar $2 bagi setiap buku yang dibaca oleh anak mendorong anak untuk membaca lebih banyak buku. Pada saat yang sama, mendorong mereka membaca buku yang lebih tipis. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, seperti apa jadinya anak-anak ini nantinya? Apakah mereka akan belajar bahwa membaca adalah pekerjaan rumah yang dikerjakan agar dapat bayaran, atau mendorong mereka membaca, mungkin dengan alasan yang salah pada awalnya, tapi kemudian mereka jatuh cinta dengan membaca pada akhirnya?
Hal-hal inilah yang terlewatkan oleh para ekonom. Mereka, para ekonom, seringkali berasumsi bahwa dalam mekanisme pasar, barang yang diperdagangkan tidak merubah makna atau nilai dari barang tersebut. Hal ini memang benar jika itu mengenai barang materi. Contohnya, jika anda menjual televisi layar datar ataupun memberi saya sebagai hadiah, barangnya tetap memiliki fungsi yang sama; sebagai televisi. Tapi hal berbeda jika berkenan dengan hal-hal nonmaterial dan praktik sosial (non-material goods) seperti belajar mengajar atau membangun kebersamaan dalam kehidupan sosial.
Dalam hal-hal non material tersebut, mekanisme pasar dalam bentuk insentif uang bisa menggeser atau merusak nilai-nilai non-pasar yang mulia dimasyarakat. Dari contoh insentif belajar dan membaca diatas, terlihat bahwa market values bisa merubah karakter dan makna praktik sosial itu sendiri.
Kita harus berani mempertanyakan, bagaimana seharusnya kita menempatkan pasar beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya? Di mana kita bisa menggunakannya dan di mana sebaiknya tidak kita gunakan? Di mana dia bisa merusak nilai dan sikap sosial yang mulia? Kita harus mampu mengangkatnya menjadi topik diskusi ataupun debat dipublik; apa makna dari praktik-praktik sosial yang kita anggap baik, mulai dari kehidupan berkeluarga, hubungan personal, kesehatan, belajar mengajar, sampai pada kehidupan bermasyarakat kita. Kita sangat jauh dari diskusi pada pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Dampaknya bagi Demokrasi
Selama lebih dari 3 dekade, nilai, norma dan cara berpikir pasar (market thinking) telah menguat dan bahkan menjadi populer. Percakapan publik kita saat ini, menjadi hampa moral. Jika kita mampu melihat bahwa pasar sejatinya dapat merubah karakter barang (nonmaterial goods) maka kita secara bersama-sama harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kita memaknai sesuatu. Satu hal penting yang akan rusak jika kita memberi harga pada semua hal adalah kebersamaan; saling pengertian dan memahami bahwa kita semua bersama-sama hidup didunia ini.
Sehubungan dengan meningkatnya ketidaksetaraan, marketisasi seluruh aspek kehidupan menciptakan kondisi di mana yang makmur dan yang miskin hidup secara terpisah jauh. Kita hidup, bekerja, belanja dan bermain ditempat yang benar-benar berbeda. Anak-anak kita belajar di sekolah yang jauh berbeda satu sama lain. Dan semua ini tidak baik dalam demokrasi dan sebenarnya bukan cara hidup yang menyenangkan bahkan bagi mereka yang mampu.
Mengapa demikian? Karena demokrasi pada dasarnya tidak menginginkan keseteraan yang sempurna, tapi yang diharapkan adalah ada perasaan hidup secara bersama sebagai warga negara. Yang terpenting adalah orang dari latar belakang sosial dan pengalaman hidup yang berbeda bisa saling terhubung, saling menjaga dalam menjalani kehidupan. Dengan begini kita bisa mengesampingkan perbedaaan dan seperti ini pula kita bisa peduli tentang arti dari kebaikan bersama.
Pada akhirnya, pengertian tentang pasar, bukan hanya tentang ekonomi, tetapi sebenarnya tentang bagaimana kita ingin hidup bersama. Apakah kita ingin hidup bermasyarakat di mana segalanya ada harganya dan untuk dijual, atau di mana tegaknya nilai-nilai moral hidup bermasyarakat yang tidak dimuliakan oleh pasar dan tidak bisa dibeli dengan uang?

23 Desember 2015


Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda