Wahai perempuan, speak louder please, make yourself heard!
Sabtu tanggal 25 April lalu Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Sulsel mengadakan webinar tentang Covid 19 dan dampaknya terhadap perempuan. Saya dan mahasiswa dimata kuliah "Gender dalam Hubungan Internasional" berkesempatan untuk nimbrung. Saya mengajak mahasiswa saya mengikuti webinar tersebut karena dua alasan: topiknya relevan serta sesuai dengan dinamika aktual dan karena webinar menghadirkan pembicara yang luar biasa, sayang untuk dilewatkan.
Dalam diskusi yang waktunya sangat terbatas tersebut memang tidak mampu mengutarakan semua pendapat orang, oleh karena itu saya mencurahkannya lewat status dengan mengupayakan seringkas mungkin.
Dalam mata kuliah, kami membahas artikel ini dimana ada beberapa negara menunjukkan statistik yang bagus dalam menghadapi pandemi, dan negara-negara ini punya kesamaan: dipimpin oleh perempuan.
Dalam diskusi kemaren saya sebenarnya mau mengajak para tokoh perempuan agar tidak hanya berbicara tentang dampak Covid ini terhadap perempuan, tapi saya meminta peran mereka yang lebih besar lagi. Tentu saja pernyataan saya itu didasari bahwa mereka-mereka itu orang hebat yang tidak pernah berpangku tangan, apalagi ketika krisis begini, mereka pasti sudah di"lapangan" dan berbuat sesuatu. Tapi saya selalu ingat bahwa prinsip seorang pengabdi kemanusiaan "tidak ada yang salah yang kita lakukan, tetapi selalu berfikir belum cukup".
Menurut pemikiran sederhana saya, melihat dari negara-negara yang diulas di pada website CNN diatas, para srikandi pemimpin itu memiliki kesamaan: memiliki sense of crisis yang tinggi, sehingga lebih responsif dan kuat total dalam implementasi. Di Taiwan, German, New Zealand, Findland dst, para pemimpin merespon lebih awal pandemi ini dibanding negara-negara lain. Angka terkonfirmasi baru beberapa, Taiwan sudah melakukan pengawasan ketat di bandara, semantara negara lain belum melakukan apa-apa (jangan tanya Indonesia hehe).
Ketiga hal yang dimiliki oleh perempuan pemimpin diatas sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita (atau mungkin saya saja). Amati bagaimana para ibu, istri dirumah. Harga sayur naik berapa ribu perak saja, para ibu akan langsung "pusing" (sense of crisis). Sementara kita, para bapak, cenderung akan bilang "deh, Bunda, segitu ji lagi, biarkan mii". Dan gegara harga naik berapa ribu perak saja, Ibu akan melakukan penyesuaian sana-sini (responsive). Lalu, karena itu mungkin Istri/Ibu tidak akan beli di penjual sayur yang sama, atau akan total dalam melakukan penyesuaian (strong enforcement).
Pemikiran diatas saya bisa saja dituduh "sexist", saya menerima itu. Dan saya menyampaikan ini bukan untuk bermaksud mengganti Presiden atau Gubernur atau Walikota dengan salah satu perempuan hebat, bukan. Di salah satu kota di Indonesai yang dipimpin perempuan juga belum tentu bagus dalam menghadapi pandemi, meski kita lihat betapa care dan strong leadership dia tunjukkan. Saya hanya ingin mengajak para perempuan hebat itu bahwa kalian tidak hanya dibutuhkan oleh kaum perempuan saja, kalian dibutuhkan oleh umat manusia dan mahluk hidup lainnya di tengah pandemi ini. Salah satu varian dalam perspektif Feminisme mengatakan bahwa perempuan harus berada dalam proses pengambilan kebijakan. Saya hanya ingin menambahkan "speak louder please, make yourself heard". Sampaikan isi hati dan pikiranmu, saya yakin dalam dirimu ada 3 hal yang dibutuhkan diatas.
Comments
Post a Comment