COVID19 DAN WAWASAN KEWILAYAHAN*

penulis: a.m.sallatu
Sumber foto logovcelebes.id

 

Covid19 adalah permasalahan kesehatan, yang nota bene adalah salah satu sektor pembangunan. Ataupun, dalam besarannya, termasuk bagian dalam sektor sosial. Bisakah Covid19 ini ditangani dan diselesaikan permasalahan nya secara sektoral ? Kata mustahil memang segera patut mengemuka. Oleh karena Covid19 lebih patut dilekatkan pada permasalahan wilayah dan kewilayahan. Lockdown, karantina, pembatasan, atau apapun substansi kebijakan penanganan yang ingin digunakan sepatutnya menggunakan, wawasan dasar wilayah dan kewilayahan.

 

Sadar atau tidak sadar, mulai dari penentu kebijakan, implementor, pelaku pembangunan bahkan masyarakat luas sendiri akan sangat naïf bila tidak mengakui betapa mendasar pentingnya, mulai cara pandang sampai kepada program dan kegiatan, termasuk Covid19 ini, yang harus berbasis wilayah. Wawasan wilayahnya harus terlebih dahulu diletakkan, baru memikirkan substansi penanggulangan apa yang dibutuhkan untuk menanganinya. Karena memang begitulah sejatinya setiap upaya pembangunan pada skala daerah atau wilayah dirumuskan.

 

Covid19 dan manusia yang akan dan telah diserangnya itu ada di wilayah, sama sekali tidak bisa dipilah. Sama halnya, kemiskinan dan investor pun ada di wilayah. Janganlah pembangunan yang ingin diimplementasikan berkehendak memilah kemiskinan dan investor, keduanya adalah suatu keseluruhan. Nyaris tidak ada jalan pintas (baca: percepatan) yang mampu untuk menangani Covid19 dan manusia yang disasarnya. Demikian pula, tidak ada jalan pintas, menekan angka kemiskinan dan memacu hasil investasi untuk mempercepat laju pertumbuhan. Semuanya menuntut proses berpikir berikut implementasi yang terukur, terstruktur dan sistematik.

 

Inilah konteks permasalahan Covid19 di Sulsel. Para penentu kebijakan seakan tidak jera-jeranya selalu termotivasi berpikir sektoral. Apalagi dalam kaitan permasalahan Covid19 ini, terdapat dua substansi yang bagaikan koin dengan dua sisinya. Pencegahan meluasnya penyebaran dan penanganan bagi mereka yang terinfeksi virus ini. Keduanya memang harus ditangani secara parallel, namun menuntut pilihan prioritas kebijakan, agar upaya penanganannya bisa distrukturkan. Disinilah cara pandang wilayah secara awal sepatutnya digunakan untuk dapat memilih prioritas kebijakan. Sulsel sebagai suatu wilayah, sesuai dengan fakta dan realitasnya, sepatutnya menyadari wawasan dasar wilayah dan kewilayahan.

 

Sudah sejak awal ditemukan bahwa Sulsel termasuk zona merah dilihat dari jumlah orang yang terserang virus ini. Penanganan bagi mereka yang sudah terpapar adalah suatu yang niscaya. Namun sebagai wilayah yang kategori zona merah, justru eskalasi potensi jumlah yang terserang harus mampu ditekan seoptimal mungkin. Inilah yang sepatutnya menjadi wawasan dasar pilihan kebijakan prioritas. Tanpa mengabaikan orang-orang yang sudah terpapar tersebut. Itulah alasan dasar sehingga disepakati bahwa upaya dan tindakan penanganan Covid19 ini membutuhkan anggaran yang besar, bahkan perlu melibatkan masyarakat luas terutama para donatur. Suka atau tidak suka, wawasan wilayah yang harus bisa dimanfaatkan.

 

Untuk itu, identifikasi permasalahan faktualnya perlu dicermati pertama kali agar rumusan kebijakan prioritasnya mampu dilakukan. Data lapangan memperlihatkan bahwa berawal dari arus masuk manusia  ke wilayah ini adalah sumber penyebaran virus yang paling besar. Oleh karena itu, dari titik wilayah ini upaya pencegahan penyebaran perlu dioptimalkan. Sebagai implikasi wawasan kewilayahan, dan sesuai pula dengan titik penyebaran yang terekam di lapangan, maka tidak dapat tidak, peranan pemerintah provinsi harus tampil ke depan, karena akan menyangkut permasalahan yang lintas daerah..

 

Data lapangan memperlihatkan bahwa titik masuk Covid19 ke wilayah Sulsel ini adalah utamanya melalui Kota Makassar. Oleh karena itu upaya pembendungan penyebaran harus di Makassar. Namun tentu saja Makassar tidak bisa berdiri sendiri, apalagi sudah sejak lama dikenal banyak komuter terutama di daerah tetangga yaitu Maros dan Gowa. Dengan demikian yang diperlukan adalah pencegahan lintas daerah, yang di satu pihak menjadi domain provinsi dan di sisi lain memang merupakan perintah UU untuk selalu mengembangkan kerjasama daerah. Itulah sebabnya secara konkrit dalam tulisan opini di Koran Tribun Timur (Edisi kamis 16/04/20), saya mengendorse untuk melakukan PSBB secara terintegrasi di Makassar, Maros dan Gowa (MAMA GOWA), dimana Pemprov Sulsel yang tampil mengambil inisiatif, peran dan tanggung jawab. Gagasan konkrit ini rupanya tidak diperhatikan dan dipertimbangkan. Makassar dan Gowa yang masing-masing berinisiatif sendiri. Hasilnya bisa dilihat, bahwa penyebaran nyaris tidak terkendalikan. Makassar, dari data lapangan yang dilaporkan menunjukkan peningkatan selama masa PSBB, bahkan setelah masa PSBB telah dihentikan.

 

Dengan PSBB yang terintegasi secara wilayah, juga memberikan manfaat terjadinya konsolidasi pendanaan dan koordinasi penanganan, apalagi bila ditopang oleh alokasi dana dan sumberdaya dari Pemprov Sulsel. Lebih dari itu, dengan wawasan wilayah dan kewilayahan, juga akan nyata sekali peran supervisi yang secara langsung dapat dilakukan oleh pihak provinsi, sehingga bisa diperpaiki marwah pemerintahan yang selama ini dianggap tergerus dari waktu ke waktu. Dengan demikian melalui pendekatan wilayah dan kewilayahan dalam penanganan Covid19 di Sulsel, menjadi momentum untuk bisa menepis anggapan yang ada seputar marwah pemerintahan yang tergerus tersebut.

 

Waktu sudah berjalan cukup lama dengan Covid19 di Sulsel, pendekatan yang digunakan tetap saja sektoral dan individual daerah. Hasilnya, sangat tidak mengembirakan. Akan seperti apa pada akhirnya, entahlah, karena tidak ada perencanaan dan implementasi kegiatan penanganan yang dapat dikatakan sistematik, terstruktur dan terukur. Mungkin hanya doa pada yang Maha Kuasa yang bisa lebih banyak diharapkan.

 

Makassar, akhir Mei 2020.-



--------  

Artikel ditulis oleh 

*Abdul Madjid Sallatu
Peneliti Senior di https://logovcelebes.id/
dan Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI)

Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda