Pandemi Covid19: Ujian Bagi Evidence Based Policy

gambar diambil dari freepik.com


Sulawesi Selatan dan ibukotanya, Makassar, saat ini dipimpin oleh akademisi dengan jabatan (sebagian masyarakat umum memaknainya sebagai sebuah gelar) tertinggi dalam dunia pendidikan: Professor. Saya yakin bahwa banyak orang yang berharap kedua pemimpin itu dapat merumuskan kebijakan-kebijakannya dengan berbasis pada obyektifitas, memiliki bukti-bukti yang didapatkan melalui serangkaian proses sistematis, semua bersesuaian dengan nature dari jabatan/gelarnya. Hal ini dikenal sebagai kebijakan berbasis bukti atau evidence based policy. Sebuah tantangan yang tidak mudah mengingat bahwa dunia kebijakan sangat kompleks dan terlalu banyak faktor yang mempengaruhi, bukti dan/atau hasil riset hanya salah satu faktor saja. 


Mengapa kita layak berharap pada kebijakan berbasis evidence?


Meskipun bukan menjadi hal baru karena sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles telah mengajukan pemikiran tentang perlunya kontribusi beragam pengetahuan pada pembuatan aturan. Secara ideal ia adalah kombinasi antara pengetahuan ilmiah, pengetahuan praksis dan pengetahuan berbasis nilai (Flyvbjerg, 2001; Ehrenberg, 1999). Terdapat sebuah premis bahwa kebijakan harus didasarkan pada bukti yang didapatkan dari sebuah upaya sistematis dan menggunakan analisis yang rasional, karena dengan begitu kebijakan dipercaya akan mendapatkan outcomes yang lebih baik, seperti yang telah dicontohkan oleh beberapa negara (Sutcliffe & Court, 2005). 


Disisi lain adalah kebijakan berbasis opini (opinion based). Davis (2004) membedakan antara opini publik dengan opini dari expert atau ahli yang didalam opininya diyakini terdapat bukti yang valid dan dapat diandalkan. Kebijakan yang didasarkan pada opini publik diyakini akan memiliki kualitas dibawah dari kebijakan yang didasarkan pada sebuah pendekatan rasional yang mengandalkan sebuah riset yang berkualitas. 


Shaxson (2005) mengidentifikasi beberapa hal mengapa kita membutuhkan bukti sebagai pondasi kebijakan yaitu antara lain: (1) menunjukkan relasi antara arah strategis, hasil yang diharapkan tujuan dari kebijakan dan garis argumentasi yang jelas antara apa yang kita tuju dengan apa yang kita lakukan saat ini (2) dapat mempengaruhi pihak-pihak lain agar bahu-membahu dalam mencapai tujuan kebijakan dan mampu membawa mereka sampai pada tahapan implementasi.


Tipe-tipe evidence untuk kebijakan


Pada tahun 1999, Kertas Putih Modernisasi Pemerintahan oleh United Kingdom Cabinet Office merumuskan bahwa evidence yang dijadikan dukungan bagi kebijakan adalah pengetahuan ahli, riset yang terpublikasi, konsultasi pemangku kepentingan, evaluasi kebijakan sebelumnya, data internet, hasil konsultasi dengan ahli, kalkulasi biaya dari opsi-opsi kebijakan dan hasil dari statistik dan pemodelan ekonomi. Marston and Watts (2003) menambahkan yang memungkinkan dijadikan evidence adalah foto, teks sastra, dokumen resmi, kumpulan berita, narasi etnografi. 


Secara umum evidence based policy adalah kebijakan yang berbasis pada sebuah upaya sistematis, rigid, expert reviewed untuk meningkatkan ketersediaan pengetahuan (OECD, 1981). Meskipun bervariasi, setiap bukti yang tersedia memiliki tingkatan berbeda dalam hal relevansi, urgensi dan bobotnya. 


Shaxson menawarkan beberapa pertanyaan sebagai penyaring bukti yang tepat bagi sebuah kebijakan, yaitu: pertama: kualitas/akurasi/obyektifitas. Apakah angka-angka yang digunakan sudah tepat? apakah relasi sebab-akibat dijabarkan dengan dengan baik?. Kedua: kredibilitas. Apakah penyedia bukti adalah lembaga yang memiliki reputasi baik sejak lama? Apakah argumentasi yang dibangun kuat dan tidak terdapat kontradiksi mulai dari tahapan awal sampai penyampain konklusi? apakah metode analisis yang digunakan telah serangkaian percobaan? 


Ketiga: Relevansi. apakah bukti yang diajukan relevan dan konteks kebijakan (secara time-frame dan topik). Keempat: Praktikalitas. Apakah bukti yang ditawarkan dapat diakses secara penuh atau sebagian saja oleh pengambil kebijakan? apakah menggunakan bahasa yang memudahkan pemahaman? apakah langsung memberikan rekomendasi kebijakan?


Ujian kebijakan dimasa pandemi


Gema pandemi covid19 ini lebih dari sekedar bicara kesehatan berikut sistem pelayanan yang dibangun, tetapi juga menyentuh masalah ekonomi, industri, sosial budaya dan lain-lain. Tantangan paling intens muncul adalah pemerintah diberikan pilihan antara menyelamatkan ekonomi disatu sisi atau menyelamatkan banyak nyawa disisi yang lainnya. Pada level strategis memang benar bahwa menyelematkan nyawa adalah juga akan menyelamatkan ekonomi, tetapi tidak mudah menerjemahkannya kedalam level praktis, dimana pemerintah dituntut lihai dalam melakukan juggling agar 'bola' tidak jatuh dan permainan berakhir dengan kekalahan. Satu hal yang jelas, 'bola' ada pada pemerintah, meski seluruh elemen masyarakat juga ikut menentukan jatuh tidaknya 'bola'.


Saat ini evidence tersedia sangat luas di dunia maya ataupun juga feeding dari lembaga-lembaga riset berbasis perguruan tinggi atau pun bukan, dari lembaga think-tank dst. Saya tidak ingin tergoda memberikan penilaian terhadap pemerintah tetapi hanya ingin menawarkan beberapa pertanyaan reflektif kepada pemerintah dan kepada kita semua: 


Apakah pemerintah mampu mengajak semua pihak agar bahu membahu mencapai tujuan yang lebih terukur? Apakah pemerintah menyajikan sebuah penjelasan yang rasional kepada masyarakat umum? apakah pemerintah level provinsi dan kab/kota menunjukkan sebuah konsistensi argumentasi? apakah pemerintah telah menunjukkan relasi antara arah strategis, hasil yang diharapkan, tujuan dari kebijakan serta garis argumentasi yang jelas antara apa yang kita tuju dengan apa yang kita lakukan saat ini? Silahkan anda sendiri yang mencari jawabannya.

Salam sehat selalu.

Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda