New Normal, kewarasan baru dan realitas objektif*


The word of new normal and abnormal with human's finger.Concept of new normal behavior after Coronavirus Covid-19 concept.
gambar dari feepik.com


” Manusia sangat memerlukan kegilaan, jika ia menolak untuk menjadi gila, maka ia akan dimasukkan dalam bentuk kegilaan yang lain.”

Penggalan kalimat  Dan Dostroyesvki diatas seakan mau bilang kepada kita bahwa dalam peradaban, kita menjaga kegilaan supaya tetap waras. Ya. Kita butuh orang gila untuk membuktikan kita waras dan kita butuh kewarasan supaya kita bisa menyebut orang lain gila. Nah apa yang terjadi ketika kewarasan berubah bentuk karena sebuah pandemi? Pemerintah kita menyebutnya New Normal atau Kenormalan baru seperti yang baru saja diumumkan oleh Badan Bahasa sebagai padanannya. Tapi new normal bukan hanya sebuah istilah guys, ini jauh lebih besar. Ia adalah sebuah wacana yang akan mempengaruhi kehidupan kita kedepannya, dan menjadi sebuah standar baru untuk kewarasan.

Anda bisa bayangkan, sebelum masa pandemic kalau ada orang yg pake masker kemana-mana, sebentar-sebentar cuci tangan dan takut bersentuhan dengan orang lain dikategorikan dalam sebuah bentuk kegilaan yang disebut Mysophobia.  Sekarang justru orang yg tidak pake masker kemana-mana, serampangan menyentuh barang dan orang lain serta tidak takut terkontaminasi kuman adalah orang gila baru. Inilah yang disebut dengan kenormalan baru, ketika sebuah realitas objektif atau pemaknaan orang banyak terhadap sebuah peristiwa berubah secara drastic dan meninggalkan pemaknaan yang lama.

Pertanyaanya sekarang apa itu Normal? Kata normal merujuk pada sesuatu yang sesuai standar atau sesuatu yang umum. Dalam psikologi normal berarti rata-rata (average) dalam hal kepribadian, kecerdasan dan emosi. Jadi bisa kita simpulkan bahwa dalam kehidupan social, normal adalah sebuah perilaku yang merujuk pada standar-standar baku yang telah ada dan menjadi konvensi. Dalam bahasa filsafat, normal bisa kita rujuk sebagai Realitas objektif atau pemaknaan yang disepakati oleh setiap orang terhadap sesuatu hal. Penjelasan ini mungkin agak sulit untuk kita pahami, tapi percayalah dengan memperhatikan orang-orang disekitar anda, saya yakin anda dengan mudah memahaminya karena anda hidup didalamnya dan mengalaminya setiap hari. Pernahkah anda merasa salah kostum ketika mendatangi sebuah acara? Pernahkah anda merasa asing dalam sebuah kerumunan? Atau pernahkah anda mengatai orang lain gila atau sebaliknya? Nah, ketika jawaban anda adalah “saya merasa diri saya / orang lain berbeda” maka itulah yang disebut kenormalan atau ketidak normalan.

Dalam pandangan posmodernisme, kenormalan adalah sebuah diskursus atau wacana yang sengaja diatur untuk menciptakan keteraturan, kepatuhan ataupun tujuan-tujuan lainnya. Sehingga segala sesuatu perlu diwacanakan dan diciptakan standar-standar khusus untuk mengaturnya. Positifnya, hal ini akan menciptakan kesepahaman yang luas akan sesuatu. Oleh karena itu ensiklopedia menjadi hal penting dalam sebuah diskursus dan menjadi barang wajib untuk memahami diskursus, meskipun tidak semua ensiklopedia ditulis dalam buku yang serupa kamus, kadang pengertian dan standar-standar dalam masyarakat berbentuk konvensi atau kesepakatan bersama yang sifatnya kontekstual.

Dalam perkembangannya, diskursus terus berkembang dengan berbagai standarnya yang kita sebut dengan norma dan berbagai rujukannya yang kita sebut dengan nilai. Contohnya diskursus dalam berpakaian, kita semua akhirnya harus berada dalam sebuah tata laksana berpakaian gara-gara diskursus ini. Kalau mau dibilang keren ada standarnya, kalau mau dibilang alim ada standarnya, kalau mau dibilang stylish ada aturannya. Ini baru diskursus berpakaian. Sekarang coba anda bayangkan betapa banyak diskursus dalam kehidupan anda yang kemudian mempengaruhi anda dalam memaknai sesuatu. Banyak kan? Ada diskursus budaya, social, ekonomi dan seterusnya.

Nah sekarang pertanyaanya apa itu new normal? Diskursus baru kah atau apa? New normal adalah sebuah diskursus baru yang sengaja atau tidak sengaja diciptakan yang kemudian menggeser pemaknaan lama masyarakat terhadap sesuatu dan menggantinya dengan pemaknaan yang baru. Saya mau bercerita sebuah keadaan ditahun 1980, ketika televisi baru saja berkembang dengan pesat menjadi sebuah hiburan baru bagi masyarakat. Ditahun 80an pernah ada sebuah opera sabun (soap Opera) atau sekarang lebih dikenal dengan sinetron judulnya The Cosby Show, Semua orang menggilai acara ini. Acara ini bahkan diputar dihampir seluruh bagian dunia saking bagusnya. Acara ini menceritakan sebuah keluarga yang sangat ideal antara Mr. Cosby, Mrs. Cosby dan anak-anaknya. Lalu apa hubungan acara ini dengan New Normal? Well pada saat itu, saking disenanginya oleh para penontonnya, tanpa disadari para penonton mulai mengadopsi gaya romantisme keluarga Cosby dalam nalar mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah hampir semua penonton the Cosby show mulai merasa tidak nyaman dengan kehidupan keluarganya sendiri dan memicu gelombang perceraian besar-besaran di Amerika dan seluruh dunia. Apa yang terjadi? The Cosby Show telah menciptakan sebuah new normal dalam kepala penontonnya dan mereka merasa kehidupan mereka saat itu tidak normal dan mulai mempertanyakan hubungan mereka, romantisme pasangan dan seterusnya yang pada akhirnya menggiring mereka pada sebuah kesimpulan My life is not normal.  Ini bagi yang suka nonton drakor hati-hati….hehehehe

Contoh lainnya yaitu tentang masalah kecantikan. Ditahun 80an kecantikan seorang perempuan identic dengan badan yang berisi (montok) dan  rambut ikal berombak. Coba saja kalian buka foto-fot artis tahun 80an hinga awal 90an, model-modelnya pasti begitu. Itu adalah diskursus tentang cantik saat itu. Sekarang tentu berbeda, saat ini perempuan-perempuan harus kurus, mulus dan berambut lurus baru dibilang cantik. Apa yang terjadi? realitas objektif tentang kecantikan berubah dari sebelumnya. Semua perempuan yang masih berpegang teguh pada diskursus tahun 80-90an berubah menjadi jelek  dan tidak normal. Parempuan lain yang berusaha normal terpaksa berdiet menguruskan badannya, meluruskan rambutnya dan mengkonsumsi berbagai obat-obatan untuk memutihkan dan memuluskan kulitnya. Sama seperti the Cosby show, diskursus kecantikan berkembang dari televisi dan media lainnya melalui para influencer yang didandani sedemikian rupa supaya kelihatan “cantik”. Bedanya, diskursus  kecantikan lahir bukan dari ketidaksengajaan tetapi memang sesuatu yang disengaja untuk mendorong tingkat konsumerisme terhadap produk-produk kecantikan.

Kedua contoh diatas, menunjukkan bahwa sebenarnya kita telah terbiasa hidup dari sebuah kenormalan ke kenormalan yang lain tanpa kita sadari. Baik dari segi personal maupun masyarakat yang lebih luas. Kenormalan baru kadang hadir dengan tanpa disengaja ataupun disengaja. Perubahan dari kenormalan satu ke kenormalan yang lainnya juga terjadi hampir tiap saat dalam kehidupan kita.  Bagaimana penemuan handphone misalnya telah merubah kenormalan lama menjadi sebuah kenormalan baru dalam berkomunikasi. Bagaimana internet telah merubah banyak hal terkait perilaku dan kehidupan kita dan itu adalah sebuah hal yang normal meskipun berbeda dari sebelumnya. Ada standar-standar yang terus berubah dalam kehidupan kita ketika kita mencapai suatu titik atau menemukan hal yang baru. Dengan kata lain new normal adalah sebuah mekanisme adaptasi terhadap sebuah perubahan dalam kehidupan kita. Dengan menciptakan defenisi baru dan menerapkan standar-standar baru, kita telah menciptakan new normal dalam kehidupan kita.

Sekarang tentang new normal dimasa pandemic. Banyak yang nyinyir dengan istilah ini, sampai-sampai politikus sekelas Amin Rais ikut berkomentar pedas terkait hal ini. Ada yang mengaitkannya dengan konspirasi besar dan lainnya. Bagi saya new normal hanyalah sebuah wacana baru yang mengubah kebiasaan kita. Tapi sebenarnya kita tidak perlu takut, karena jauh sebelum new normal ada, kita telah menjadi tidak normal dalam kenormalan lama. Teman-teman saya sering mengeluh ketika mahasiswa lebih senang bertanya melalui whatsap ketimbang menemui dosennya secara langsung. Itu tidak normal dalam kenormalan lama kita. Atau kelompok arisan keuarga yang mengeluh karena ketika mereka bertemu anggota-anggota terlalu asik dengan gadget dan justru mereka jadinya berkomunikasi secara virtual meskipun mereka berhadap-hadapan. Itu juga tidak normal dalam kenormalan lama. Kenormalan baru melegalkan hampir semua hal yang tidak normal dalam kenormalan lama dan merubahnya menjadi sebuah standar baru. Saya yakin setelah kita menjalani kehidupan new normal tidak ada lagi mahasiswa yang di juluki tidak sopan karena sering bertanya melalui whatsapp

Yang perlu kita waspadai adalah ketika new normal digulirkan tentu juga ada new ideal. New ideal inilah yang kadang menjadi masalah karena berkaitan dengan Kapitalisme dan konsumerisme. Pola hidup ideal yang lama tentu akan berubah, Kesehatan misalnya tentu orang-orang akan didorong atau dipengaruhi untuk mengikuti gaya hidup ideal baru dengan berbagai instrument baru. Kalau dulu kita abai minum vitamin maka sekarang vitamin adalah sebuah keharusan, kalau dulu kita jarang pakai hand sanitizer maka sekarang adalah sebuah keharusan. Bahkan mungkin anda akan mulai merasa tidak nyaman dengan pasangan anda yang malas cuci tangan atau malas pakai masker ketika keluar rumah. Semua contoh yang saya sebutkan ini akan berkaitan dengan perubahan pola konsumsi yang pada akhirnya terkait dengan produksi dan penjualan. Lalu apakah ini Konspirasi? No…ini adalah kapitalisme brow and sist...!!!

----

-----

*Artikel ini ditulis oleh Andi Ali Armunanto SIP., MA. (@armunanto14) 

Dosen Dept. Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Member dari the Lectors

foto koleksi the Lectors










**Artikel ini telah mendapatkan ijin penulis untuk diterbitkan pada blog ini.

 

Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda