Gelar dan Jabatan Bisa Jadi Pembatas Menikmati Hidup

Pile of textbooks arranged on professor desk in lecture room Free Photo
sumber foto: freepik.com


Sebelum memulai satu pelatihan yang saya fasilitasi, saya diberi tahu bahwa ada beberapa peserta yang lebih tua dari saya dan dan beberapa adalah memegang jabatan. Meski sudah punya beberapa pengalaman memfasilitasi orang yang lebih tua, lebih pintar dan pejabat, tapi saya merasa tertantang dan percaya diri. Oh iya, saya selalu lebih percaya diri sebagai fasilitator dibanding narasumber (belakangan disebut narazoomer) karena sebagai fasilitator saya tidak harus lebih pintar dari peserta, karena saya bukan narasumber/ahli yang mau datang memberi tahu mana yang benar. 


Seperti biasa, diawal pelatihan (yang akan berlangsung 4 hari) sy bilang "semoga kita semua disini mau bersepakat bahwa kita semua setara, minimal didalam ruangan ini. Saya berdiri bukan karena lebih pintar. Oleh karena itu, kalo memungkinkan saya sarankan segala gelar akademik, jabatan dst, kita titip di meja resepsionis dulu didepan (menunjuk meja didepan ruangan) nanti kalo keluar bisa diambil lagi. Karena kadang, gelar dan jabatan itu yang mengkerangkeng kita harus begini begitu, sehingga membatasi kita untuk bergerak lebih. Apalagi aktifitas dipelatihan ini akan banyak berinteraksi dengan orang lain, ada yang melalui games”. Peserta bersepakat saja.


Kata Kang Zaini Alif, sang doktor permainan Rakyat Indonesia “setinggi apapun pendidikan seseorang, dia pasti menyenangi tools/metode yang membuat orang berinteraksi secara menyenangkan


4 hari kemudian, diakhir pelatihan, pada sesi berbagi testimoni peserta, salah seorang Ibu (yang pejabat) dia bilang begini "ternyata memang benar kata pak Gego, kalo kita tanggalkan embel2 jabatan, kita lebih enak berinteraksi dengan orang, tidak ada beban. Saya bahagia melakukan semua aktifitas dalam pelatihan ini, sangat menyenangkan, padahal disini banyak anak murid saya"


Setelah penutupan saya dan ibu itu wefie. Semoga Ibu itu tetap sehat dan bahagia, dan kami bisa bertemu kembali. (fotonya ada sama Ibu itu, karena pake hape beliau hehe)


Yah, susah memang menanggalkan jabatan dan gelar akademik yang panjang plus mentereng itu, karena sudah susah payah dicapai dengan sekolah tinggi-tinggi. Sudah banyak waktu, tenaga, harta, perasaan yang dicurahkan, masa sih mau ditanggalkan? 


Tapi seperti pengalaman Ibu diatas, kadang itu semua (gelar dan jabatan) bisa jadi beban. Yang paling ngeri karena tidak kita sadari adalah dia bisa saja mengalihkan jalan pikiran dan prilaku menjauh dari fitrah kita sebagai manusia: orang yang mau berbahagia agar bisa menebar kebahagiaan, menjadi orang yang tawadhu, memiliki intellectual humility,  menjadi orang yang terbuka dengan siapa saja.


Benar, tidak banyak yang bisa seperti Ibu itu diatas, susah, berat. Tapi sekali dia melakukannya, dia menikmatinya. Semoga anda (dan saya) bisa seperti itu. aaamiiin… *Coba-coba saii hehe


-----


*punya pengalaman serupa? dengan senang hati saya mendengarkan cerita pengalaman anda dan saya bersedia berbagi biar kita saling memperkaya wawasan dan pengalaman. Salam

Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda