MELETAKKAN KEMBALI PONDASI EKONOMI SULSEL. Oleh : a.m.sallatu*

sumberfoto: logovcelebes.id


Di saat perekonomian nasional dan wilayah di tanah air menikmati surplus melalui marjin keuntungan selama pertumbuhan ekonomi, petani kecil dan buruh tani nyaris tidak memperoleh tetesan ke bawah secara berarti. Kehidupan mereka tetap pada batas tertinggi tingkat subsisten. Dalam data Susenas yang hampir setiap tahun dirilis, petani kecil dan buruh tani secara laten tergolong ke dalam kelompok pendapatan 40 persen terbawah. Dalam kelompok pendapatan ini, mereka tergolong mayoritas, berdampingan dengan kaum marjinal yang hidup di daerah perkotaan. Di saat Covid19 yang menyebar cepat, mereka ini sudah lama terjerambab lalu kemudian tentu saja semakin terhimpit. 


Secara keilmuan, dengan nalar yang logis, bila Covid19 ini merupakan kanker dalam kehidupan petani kecil dan buruh tani, pasti saja sudah didiagnosis pada stadium tinggi. Logikanya, ajal kehidupan mereka tinggal menunggu tarikan nafas terakhir. Oleh karena mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk dapat mengakumulasi kapital, bahkan tabungan sekalipun. Namun realitasnya, mereka tidak memiliki syaraf putus asa. Betapa pun berat dampak Covid19 ini ikut dirasakan oleh mereka, tetapi asap dapur mereka tetap bisa mengepul. Ekonomi rumah tangga mereka tetap berputar. Ternyata dalam rumah tangga petani kecil dan buruh tani, ada jaringan syaraf kehidupan yang mampu untuk memperbaharui dirinya. Dalam konyungtur ekonomi menaik ataupun menurun. Begitulah, sudah dalam beberapa dekade tatanan kehidupan ekonomi mereka.


Selama masa Pandemi Covid19, nyaris setiap saat teriakan pelaku ekonomi, termasuk yang berskala besar, untuk mendapatkan pemihakan kebijakan dan dukungan perhatian pemerintah, bisa disimak dari media massa. Tetapi nyaris pula tidak pernah terdengar ada teriakan petani kecil dan buruh tani. Padahal, dapat dikatakan bahwa ekonomi rumah tangga merekalah yang sedikit banyak berperan memutar roda perekonomian makro selama serangan Covid19 ini. Wacana kebijakan ekonomi yang banyak dibahas masih saja dalam perspektif ingin menggerakkan perekonomian agar pada gilirannya bisa mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Bagaimana dan seperti apa nalar ekonominya dalam realitas seperti sekarang ini, di saat sisi supply terpuruk dan sisi demand terjungkal ? Upaya yang paling logis adalah menata kembali usaha ekonomi yang ada selama ini, oleh pelakunya sendiri. Itupun nampaknya membutuhkan waktu dalam bilangan satu dua tahun, untuk bisa berpikir pertumbuhan, bila mampu. Tatanan kehidupan ekonomi saat ini dan ke depan, akan sangat lain pencerminannya. Ini yang terlebih dahulu harus dipetakan.


Dunia usaha berikut pelaku dan entitas bisnisnya, tidak seyogyanya berpikir untuk segera mendapat dukungan semacam Viagra dari pemerintah saat ini. Oleh karena bisa saja berarti akan terjadi potential economic losts dalam masyarakat secara keseluruhan. Perhitungan-perhitungan keekonomian yang biasa digunakan selama ini, sudah banyak yang tidak valid lagi. Tidak mustahil instutusi pendidikan ekonomi, keuangan dan bisnis perlu banyak merevisi baik cara pandang maupun wawasan praktikal dalam kehidupan ekonomi empirik yang telah diajarkan selama ini. Dunia ekonomi, disadari ataupun tidak, telah berubah secara mendasar dewasa ini. Sejumlah ahli sudah dengan fasihnya mengungkapkan cara pandang dan wawasannya, dan sangat menyarankan agar pelaku ekonomi sadar dan paham untuk beradaptasi dalam perubahan yang ada dan sementara berlangsung sekarang.


Justru pada saat yang sama, saat ini pusat perhatian sepatutnya ditujukan pada kegiatan ekonomi produktif apa yang masih berputar dan memiliki kapasitas supply, di satu pihak, dan di pihak lain, bagaimana permintaan efektif atas barang dan jasa yang mampu dihasilkannya. Inilah tantangan namun sekaligus momentum peluang yang tersedia bagi penentu kebijakan dan pelaku ekonomi di wilayah Sulsel saat ini. Bila menyimak kembali kondisi resesi ekonomi dan moneter akhir 1990an, sektor pertanian Sulsel telah tampil perkasa, namun sayangnya motivasi pertumbuhan yang diwariskan oleh rezim Orde Baru tidak berkurang atau bahkan semakin menggebu-gebu dengan memilih komoditas pertanian andalan. Dalam realitasnya justru kurang memberi perhatian pada pelakunya. Pertumbuhan ekonomi di wilayah ini melaju, namun hanya lebih banyak dinikmati marjin ekonominya oleh pedagang perantara dan eksportir. Struktur perekonomian wilayah Sulsel tidak semakin baik, senyatanya sektor industri pengolahan berbasis pertanian tidak berkembang. Pengalaman seperti ini sepatutnya tidak berulang kembali paska Pandemi Covid19.


Suka atau tidak suka, hanya beberapa komoditas andalan Sulsel yang memiliki struktur produksi yang handal, seperti Padi, Jagung dan Rumput Laut. Selebihnya, bila tetap ingin dipacu pengembangannya akan sangat costly, bahkan mungkin saja sudah tidak ekonomis lagi. Oleh karena itu, perhatian dan kebijakan yang berpihak pada rumah tangga produktif di sektor pertanian saat ini, nampaknya menjadi hal yang niscaya. Mencermati potensi permintaan efektif komoditas pertanian yang bisa dihasilkannya, domestik maupun ekspor, sudah memerlukan kerangka pengembangan serta agenda aksi yang sistematik dan terstruktur. Dalam pemilihan komoditas, penting sekali mencermati usaha pertanaman yang memang selama ini diakrabi oleh petani kecil dan buruh tani yang jumlahnya sangat banyak itu. Catatan kakinya adalah, jangan berpikir upaya pengembangan pertanaman rumah tangga produktif secara individual untuk bisa mencapai skala ekonomi. Oleh karena lahan yang mereka miliki dan kuasai sangat terbatas luasnya, kurang dari setengah hektar. Mau atau tidak mau, hanya dengan konsep hamparan, pada setiap pertanamanlah yang akan memungkinkan mereka untuk dapat mencapai skala ekonomi. Sebuah konsep berpikir yang sudah sangat lama dikenal di wilayah ini. Konon dewasa ini bisa berhasil maksimal dan prospektif diaplikasikan di provinsi Jawa Timur.


Dalam ungkapan dan pidato para pejabat diwilayah ini, masih selalu terdengar dan didengungkan bahwa wilayah ini berbasis pertanian. Data makro juga bisa membuktikan hal tersebut. Yang menjadi persoalan adalah siapa saja yang menikmati marjin ekonomi yang tercipta pada sektor pertanian Sulsel ? Oleh karena itu saat inilah, sambil berharap masa Pandemi Covis19 bisa segera dilalui, saatnya untuk meletakkan kembali pondasi ekonomi di Sulsel. Dengan  menjadikan petani Sulsel, terutama para petani kecil dan buruh tani, memiliki prospek dalam meningkatkan kedaulatan ekonominya. Semoga semoga bisa menyentuh nalar para penentu kebijakan di wilayah Sulsel ini!


Makassar, 17 Juni 2020.


----


Abdul Madjid Sallatu adalah founder https://logovcelebes.id/# dan The AMS Syndicate dan Peneliti Senior sekaligus Kordinator Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI)

Comments

  1. Sepakat.

    Kalau petani kadang tidak bisa menyuarakan aspirasinya. Mungkin kita yang anak petani atau kelaurga petani menyuarakannya.

    Bukan meneguhkan oligarki, termasuk oligarki dalam keilmuan seperti yang dikemukannpak Majid dalam tulisan.

    "Perhitungan-perhitungan keekonomian yang biasa digunakan selama ini, sudah banyak yang tidak valid lagi".

    Mungkinkah yang dimaksud oleh pak Majid adalah juga model-model yang kompleks tetapi tidak merefleksikan kenyataan?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda