Teman (baru kenal tapi) Rasa Sahabat!

Saya dapat informasi kalo Kepala Sekolah Indonesia Den Haag (SIDH) yang baru adalah orang dari Sulawesi Selatan. Katanya dari Toraja, ada kabar juga kalo dia orang Gowa. Entahlah. Selang beberapa lama, seorang teman, Lana, menelpon dan mengabarkan bahwa dia sudah bertemu pak Kepsek SIDH. Namanya pak Herman Tahir, dia orang Gowa tapi sejak lama sudah menjadi guru di Toraja. Terakhir, sebelum ke Belanda, dia adalah kepala sekolah SMP Negeri 1 di Makale, Tana Toraja.

Melalui telpon itu juga, saya dikasih tahu kalau pak Herman ingin ketemu dengan saya. Katanya "ooh anaknya Prof. Sallatu? Panggil dia kesini". Akhirnya saya dan Lana mengatur jadwal untuk bersamaan ada di SIDH. 

Saya beruntung mengenal Lana, sepupu dari sahabat saya, Adelina. Kata Lana "saya sudah dapat surat tugas dari Adelina naah, jangan macam-macam hihi". Awal-awal pindah ke student housing, pertanyaan Lana "ada mi kasur mu? ada mi kompormu? butuhko alat dapur? ada mi mejamu?" beberapa diantara banyak pertanyaan Lana untuk memastikan saya aman. "banyak barang-barangku, tunggu nah saya fotokan, nanti saya bawakan ko kesana" kata Lana. 

Dan bersama suaminya, Paul, barang-barang itu diantar langsung oleh mereka. Mana rumahnya jauh pula. Sekarang, kebanyakan furniture di kamarku, adalah dari Lana. Terutama peralatan dapur. AmanG Negara! Sampai sekarang pun, Lana masih terus bertanya untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Surat tugas dari Adelina ampuh juga yaah hihi. Inilah mungkin yang orang bilang "punya teman, apalagi sahabat, adalah kekayaan". Lana, juga aktif komunikasi dengan istriku. Beberapa peralatan dapur yang dibawakan itu adalah hasil kesepakatan dibelakang saya antara Lana dan Ita, istriku. Karena istriku tahu betul, saya orang yang tidak mau merepotkan orang lain dan saya bukan orang dapur, jadi tidak tahu apa-apa tentang dunia perdapuran. 

Well, don't be too worry mbak bro ku, Lanski. I'm fine. I'm a big boy (jangan terpengaruh rambutku yang sudah banyak memutih naaa, itu bagian dari style) *menolaktua 😄

Sehari sebelum berangkat, saya menerima pesan dari Bu Sunarti Tutu (beliau tidak suka dipanggil Bu, panggil nama saja katanya). Tapi saya menolak panggil nama saja, untuk tetap menghormati, saya panggil dia Kak Sue. Dia senior alumni Unhas di Belanda, juga sebagai sekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Eropa. 

"Morning Gego. Katanya besok ke sekolah Indonesia. Saya juga mau. Kalau mau sy jemput di stasiun Den Haag Centraal biar sama² kesana drpd tunggu bus lama dn jalan kaki. Mau jm brp disana? Sekalian bertemu & berkenalan" begitu bunyi pesan whatsapp kak Sue, yang baru(?) 20 tahun lebih tinggal di Belanda.

Di stasiun dia datang dengan mobilnya warna biru gelap dan begitu saya naik ke mobil, saya lihat jacketnya berwarna ungu, lengkap dengan glove yang saya yakin sepaket belinya dengan jacket, plus ikat kepala warna sama. "wow, modis juga ini kak Sue" dalam hatiku. Belum bagus dudukku saya langsung bilang: "Akhirnya saya ketemu dengan kita'. Rasanya hampir semua orang yang saya temui di Makassar yang tahu saya akan ke Belanda, nama ta paling banyak disebut. Penasaranku, siapa ini orang, banyak sekali temannya. Alhamdulillah ketemu ma ini hehe". Percakapan singkat di mobil memberi kesan kak Sue ini orang sombere' sekali. Baru ketemu tapi ngobrolnya seru, kayak akrab sekali begitue. 

Dijemput kak Sue

Saya kemudian mendengar banyak cerita tentang Kak Sue. Dia orang yang sangat baik: selalu usahakan silaturahim terutama dengan orang-orang dari Makassar yang datang ke Belanda. Orang yang suka menolong, terutama bagi teman-teman alumni Unhas yang ke Belanda untuk studi. 

Saya terkesan pada cerita tentang bagaimana kak Sue mengendarai sendiri mobil dari Den Haag ke Amsterdam dini hari, karena ada seorang teman yang mau melahirkan. Lalu, ada cerita tentang orang Makassar yang hilang dompetnya pas tiba di Belanda, tidak kenal sama kak Sue sebelumnya tapi dia dikasih nginap dirumah kak Sue dan dibantu uruskan semua dokumen yang hilang. 

Tulisan ini mungkin akan panjang kalo saya menuliskan semua cerita tentang Kak Sue. Lagian, ditulis, dicerita atau tidak dicerita tentang kebaikan kak Sue, dia tetap jadi orang baik seperti biasa, dengan gaya khasnya sendiri. Eh, kalo tulisan ini dibaca sama Kak Sue, "haloo kak Sue, ini bukan tulisan ma'golla yaah, ini refleksi pribadi, diary lah begitu. Jangan disuruh hapus hehe" *sungkem

Di SIDH sudah disapkan coto Makassar, masakan Kak Ammy, Istri Kak Herman (saya panggil beliau kakak karena saya dipanggil dinda). Kami ngobrol santai, suasana menyenangkan, semua orang menjadi lucu dan nyaman untuk bercerita apa saja. Saya yang orangnya serius, berusaha keras untuk jadi lucu juga (percayalah guyonan saya sering kali terasa hambar). 

Kak Herman dan istri membujuk saya untuk nginap saja dirumah mereka. Saya menolak. "masa' baruki kenal, main langsung nginap dirumah orang" saya bilang dalam hatiku (tuh kan, saya orangnya serius, kan?). Tapi kak Ammy pembujuk luar biasa. Entah kenapa saya susah menolak. "Iye, siap kak" akhirnya keluar dari mulutku. "Saya nginap dirumah ta malam ini, besok pi saya pulang".

Setelah agak lama ngobrol, ternyata lingkaran pertemanan kak Herman dan Kak Ammy juga dekat dengan lingkaran pertemananku. "waaah dunia ini kecil yaah" kata Kak Ammy. Foto bareng dengan kak Herman saya posting di story IG dan Facebook membuat saya menerima beberapa titipan salam untuk kak Herman. Baik itu titipan salam dari teman saya yang pernah jadi murid beliau, juga termasuk titipan salam dari teman yang neneknya tetanggaan dengan kak Herman. Oherku mengirimkan saya foto itu, "kau foto sama siapa ini, Go?'. Beh, kelilingi fotonya! Ternyata banyak temannya ini Kak Herman. Yah mungkin itulah privilege seorang guru: murid atau temannya dimana mana. Ternyata bukan dunia yang kecil tapi orang yang saya temani foto adalah "orang besar".

Kak Herman dan Kak Ammy 
(foto oleh Kak Sue)

Saya yang orangnya serius, juga selalu penasaran dengan tempat baru. Saya berkeliling SIDH, melihat bangunannya dan bertemu atau sekedar menyapa orang-orang yang ada disana. Saya mengamati atau mengobservasi (tsaaaah observasi tawwa, biar terkesan saya orang berpendidikan kasihan) sekaligus berkenalan dengan orang-orang yang ada disana. Saya lalu berkenalan dengan seorang Bapak yang saya dikasih tahu kalau beliau sudah lama tinggal di Belanda dan sudah lama bekerja di SIDH. Karena tertarik dengan beliau, saya lalu berusaha akrab dan berusaha membuat suasana agar beliau nyaman bercerita apa saja ke saya, orang yang baru dikenalnya. (Ini sekalian saya praktek/latihan keterampilan wawancara untuk field research nanti. tsaaaah) 😋 

Dan, benar! cerita dan pengalaman hidup beliau menarik sekali. Banyak inspirasi dan pembelajaran hidup dari beliau, yang selalu mengaku sebagai "orang kecil". Dalam hatiku "mas, saya itu percaya bahwa setiap orang adalah unik, punya cerita istimewa dan penting untuk didengarkan". Kata dia "Mas, bagi saya pemimpin yang baik itu yang betul-betul memperhatikan orang yang paling rendah di kantornya" saya mengangguk. Sudah hampir 30 menit kami ngobrol berdua "wah gak rasa nih cerita sudah lama yaah. Maafkan pak, saya terlalu bersemangat ngoceh, gak biasanya saya begini". Saya jadi ge-er "ada tommi modalku untuk field research nanti ini dih?" Semoga! 

Saya berkesampatan ngobrol panjang dengan kak Herman dan kak Ammy dirumah mereka, yang lokasinya ditengah-tengah kota Den Haag, cuma 5 menit dari Den Haag Centraal Station. Seperti biasa, saya tertarik dengan sosok kak Herman. Penasaran lebih tepatnya. Siapa ini orang? baru kenal tapi baik sekali. Seorang kepala sekolah SMP Negeri di kabupaten yang jaraknya 8 jam dari Makassar, tapi bisa sampai disini jadi kepala sekolah Indonesia Den Haag. 

Kami akhirnya bercerita sampai jam 00.45 malam. Kata Kak Ammy, yang hanya bisa bertahan sampai jam 10 malam "barusannya dia itu (suaminya) semangat 45 bercerita". Saya dengan seksama memperhatikan dan mendengarkan dia bercerita tentang kisah hidupnya yang awal jadi guru di sekolah yang lokasinya hanya bisa dicapai dengan jalan kaki atau naik kuda, bisa 2 hari pula. Dan dia bercerita tentang nilai-nilai dalam hidup yang dipegangnya.

Banyak inspirasi. Banyak pelajaran. Saya kebanyakan mendengar, sembari sekali sekali memberanikan diri untuk menyimpulkan ala kadarnya. "Kak, bemana ceritanya kita bisa ada disini? penasaranka" saya memulai bertanya. "memberanikan diri ja dek. Mau ja rasakan, bemana rasanya itu tes kepala sekolah Indonesia luar negeri". "deh, iseng-iseng berhadiah anjo namana kak diih?" kata saya disambut tawa "haha iyoo".

Di Toraja dulu, kak Herman dan kak Ammy senang menjamu orang dirumahnya. Kasih makan orang. Orang yang baru dikenalnya di mesjid pun diajak kerumahnya, untuk sekedar minum teh dan berakhir dengan makan bareng. Mereka, yang juga aktifis salah satu organisasi keagamaan besar di Indonesia, senang berorganisasi dan mengurus orang, membantu orang. Rasa-rasanya ini yang membuat mereka bisa ada disini sekarang. Tiba-tiba keluar coddo' rantasakku: "itu mi diih, kalo kita urus orang maka Tuhan yang akan urus ki, nda mungkin orang yang urus ki toh, ka kita yang urus mereka, jadi Tuhan mami yang bisa uruski". Sambil tunjukka, kak Herman bilang: "betuuuul itu dek".

Saya betul-betul terkesan dengan perkenalan kami ini. Orang baru kenal, tapi kok bisa rasa sahabat begini yaah. Entah apa yang bikin begini yaah. Rasa penasaran ini yang mendorong saya menulis refleksi/diary sederhana ini. Saya yang datang kesini saat banyak teman-teman lain sudah pulang, kondisi pandemi pula, meninggalkan anak istri. Tapi saya berusaha tidak sedih karena yakin, kalo niat baik, Tuhan akan jaga kita. DIA akan kirim juga teman baik lainnya. Eh, mungkin saya terlalu lebay, terlalu baperan, gampang merasa. Sante makooo (dalam hatiku). Ah, nda pusing. Saya baper itu karena saya manusia. Yang terpenting saya selalu bisa "sadar emosi" atau "sadar perasaan". Itu saja.

Saya tidak terlalu kenal kak Herman dan Kak Ammy, bagaimana dia di Toraja? Apa yang sudah dilakukannya? Rasanya saya mau cari tahu lebih jauh. Hari gini, kita bisa tahu banyak tentang seseorang lewat internet. Tapi untuk apa juga yah? Tidak ada orang yang sempurna, termasuk saya. Saya yakin itu. Bisa saja nanti Kak Herman dan Kak Ammy lah yang akhirnya menyesal pernah kenal dengan saya yang ternyata orang kodi sipa' dll. Biarkan tommi deh, jalani saja. Nikmati dan jalani saja kepingan cerita hidup dari Tuhan. Saya akan terus memegang prinsip bahwa saya akan menjadi kawan yang tangguh (jika dipilih sebagai kawan) pun saya akan mati-matian jadi lawan yang tangguh, jika orang memilih saya sebagai lawannya. Saya selalu mengutamakan yang pertama, Kak! Bismillah 

Saya ingat, Kak Herman cerita begini: "dipertemuan awal dengan guru-guru SIDH saya bilang "saya hanya sementara disini, 3 tahun. Dan dari kehadiran yang sementara itu saya berharap dapat persahabatan abadi"

Seperti kak Herman dan keluarga, saya juga hanya sementara di Belanda dan juga berharap bisa dapat persahabatan abadi. Amiin.

Hari Sabtu pagi besoknya, Kak Sue mengajak saya, kak Herman dan kak Ammy untuk main ke Delft, namun sayang karena badai, niatan foto-foto di Delft Centrum batal. Kita pulang saja. Pipi kak Sue sudah mulai memerah karena dingin (atau pipi saya? tapi tidak sadar hihi)

Jam 17.17 saya sudah naik train balik ke Amsterdam membawa keranjang besar dan berat karena disesaki ikan Bass Laut Eropa ukuran besar 2 ekor plus anaknya dkk, tempe, sprite, jeruk nipis, nasi kuning, coto, pisang, aaah banyak pokoknya. Buat bekal anak sekolah, sendirian lagi kasian, katanya. "Datang ko lagi dek naah, kapan saja kau mau datang. Asko nda datang, marah ka itu", kata Kak Ammy saat saya pamitan. 

Tunggu ma kak, datanga lagi pasti itu. Karena saya sudah diijinkan untuk tidak merasa tamu lagi dirumah ta 😎

Foto dengan Kak Sue
Duta Sulsel di Belanda 
Suasana makan coto di SIDH







TU Delft



Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda