Merajut Jalan Menuju Pembelajaran yang Membahagiakan

Foto oleh: Nurhaya Nurdin (Fak. Keperawatan, Unhas) pada kegiatan pelatihan Active Citizens Social Enterprise (Unhas - British Council)


“Kids don’t learn from people they don’t like” – Rita Pierson. Kata-kata Pierson logis, karena orang cenderung menghindari apa-apa yang dia tidak sukai. Lantas bagaimana pembelajaran bisa terjadi jika orang menghindar? JC Tukiman Taruna menuliskan opini di kompas.id berjudul “Universitas Sekolah Dasar” dan Kurikulum Merdeka” (14-02-2022). Terinspirasi oleh apa yang dilkukan oleh John Dewey di Universitas Chicago (1894), Tukiman mempromosikan Joyful Learning Model (JLM) dengan meminjam semangat fun learning dari suasana pembelajaran anak usia dini. Kenapa harus fun? karena manusia cenderung mendatangi hal-hal yang menyenangkan.


JLM ini diupayakan secara gencar bisa terimplementasi secara penuh di UNIKA Soegijpranata Semarang dengan harapan terwujudnya suasana menyenangkan, gembira, keceriaan sepanjang proses pembelajaran. Jika harapan itu terwujud, Tukiman yakin bahwa JLM mampu menghilangkan sekat antarsiapa dan apapun, menjunjung tinggi fleksibiltas dan berkeadilan bagi semua.


Sehari setelahnya, A.M. Sallatu menulis opini di Tribun Timur berjudul “Merajut Realitas di PT” (15-02-2022). Opini ini menggemakan JLM oleh JC Tukiman, merefleksikan pemikiran Alm. Prof. Mappadjantji Amien dan mencoba mengaitkan antara keduanya. 


From Teaching to Facilitating


Kedua artikel yang disinggung diatas bersepakat bahwa pembelajaran yang diidamkan menuntut hadirnya seorang fasilitator. Apa itu fasilitasi? Fasilitasi berasal dari bahasa Latin, Facile yang berarti mudah. Fasilitasi kemudian adalah proses yang memudahkan, sehingga fasilitator adalah seorang pemudah cara. Fasilitator merancang proses, rangkaian aktifitas yang jika dilakukan oleh peserta, maka mereka akan dengan mudah sampai pada tujuan (dalam hal ini capaian belajar).


Mengapa perlu fasilitasi agar terjadi pembelajaran aktif? Metode teaching atau lecturing bukan berarti tidak baik. Ada orang-orang yang dibekali bakat dan/atau keterampilan public speaking sehingga meskipun berbicara dalam waktu yang lama, pendengarnya masih tetap tertarik, terhubung (engaged) sehingga pendengar menerima pesannya secara maksimal. Orang yang tidak terampil public speaking, satu menit pun akan sudah terdengar membosankan, sebaliknya orang yang terampil, dua jam pun akan terasa cepat. 


Foto oleh: Nurhaya Nurdin (Fak. Keperawatan, Unhas) pada kegiatan pelatihan Active Citizens Social Enterprise (Unhas - British Council)


Ted Talks yang hingga saat ini digemari oleh banyak orang menawarkan 18 minutes rule. Jika lebih dari 18 menit, maka presentasi akan terasa lama, audiens sudah tidak terhubung dan pesan kita tidak akan sampai (presentasi sia-sia). Hampir pembicara di Ted Talks sudah melalu proses kurasi yang ketat oleh ahli public speaking sehingga presentasi mereka menjadi sangat menarik dan menginspirasi. Jadi, let’s be real, apakah dosen ketika mengajar dikelas, presentasinya telah melalui proses kurasi oleh ahli? Apakah kita punya keterampilan seperti Barrack Obama yang speech 1 jam pun terasa singkat oleh pendengarnya? Jika jawabannya tidak, maka guru/dosen harus rela untuk tidak terlalu banyak ceramah (teaching) dikelas dan pelan-pelan, secara sabar bergeser ke fasilitasi (facilitating). 


Dalam piramida belajar atau biasa disebut juga retention rate menunjukkan bahwa jika dosen menggunakan Ceramah (lecturing) maka mahasiswanya hanya akan menyerap 5% saja dari informasi yang diberikan. Sementara metode lain seperti Diskusi (50%), Berlatih (75%) dan Teach Others (90%). 


Memang disarankan untuk mengkombinasikan beberapa metode untuk meningkatkan retention rate. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa attention rate (tingkat perhatian) dalam kelas yang menggunakan metode ceramah maka perhatian siswa akan menurun di menit 20 (Das, Sumit; Biswas Aniruddha, 2017). Berdasarkan penjelasan ini, saya sering berkelakar dalam diskusi bahwa jika ada dosen yang marah-marah ke mahasiswa karena sudah menjelaskan selama satu jam dan belum paham, maka dosen itu sebenarnya menyalahkan korban (blaming the victim).


Metode vs Konten


Subjudul ini sebenarnya hanya bersifat provokatif, karena keduanya sama penting, tidak dapat dipertentangkan dan tidak dapat memilih satu lalu meninggalkan yang lain. Meskipun begitu, refleksi atas pengalaman saya selama kurang lebih 11 tahun berlatih fasilitasi pembelajaran, saya memberikan bobot yang sedikit lebih tinggi pada metode. 


Konten yang bagus, tanpa metode yang tepat maka capaian pembelajaran tidak maksimal dicapai. Sementara konten yang biasa-biasa saja, menjadi bisa dipahami bahkan bisa menarik perhatian dan rasa ingin tahu yang besar jika dibawakan dengan metode yang attractive. Capaian pembelajaran telah ditetapkan, pekerjaan berikutnya adalah merancang sebuah proses fasilitasi agar memudahkan peserta sampai pada capaian pembelajaran.


Masih saja ada anggapan bahwa fasilitasi pembelajaran berpusat pada siswa itu mudah, hanya sekadar siswa berdiskusi dikelas, tugas kelompok lalu presentasi atau memberikan tugas. Fasilitasi lebih dari itu dan menurut saya justru jauh lebih menantang. Dia merancang sebuah proses aktifitas yang terencana, merumuskan pertanyaan yang tepat, mengawal proses, mendengar dan memahami pendapat dari peserta, memberikan respond yang tepat. Semua itu membutuhkan beberapa keterampilan. Dia bekerja kerja keras sebelum, saat berlangsung dan ketika kelas berakhir. 


Saya yakin ini yang membuat guru/dosen tidak ingin susah dan bekerja keras. Lebih nyaman membuat puluhan slide untuk didendangkan selama satu jam, lalu ada sesi tanya jawab, selesai. Keengganan untuk bergeser ke fasilitasi juga karena pelatihan-pelatihan pembelajaran aktif dilakukan dengan lecturing. Peserta lebih banyak pasif dipelatihan tentang pembelajaran aktif. Peserta pelatihan tidak difasilitasi untuk merasakan, mengalami, menafsirkan apa itu pembelajaran aktif. Kelar pelatihan, peserta tidak bergeser dari lecturing. Saya berharap, segala teori tentang pembelajaran itu tidak berakhir di powerpoint slide, tapi diimplementasikan didalam kelas termasuk kelas pelatihan.


Pakem Gembrot


Lalu apa daya tarik fasilitasi? Dengan fasilitasi kita bisa mengeluarkan keterampilan kita yang lama tertimbun, yaitu keterampilan kreatif dan imajinatif. Dengan fasilitasi kita bisa merancang sebuah Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menggembirakan dan Berbobot (Pakem Gembrot). 


Foto oleh: Nurhaya Nurdin (Fak. Keperawatan, Unhas) pada kegiatan pelatihan Active Citizens Social Enterprise (Unhas - British Council)


Pembelajaran yang menyenangkan, bisa mengarahkan peserta untuk lebih kritis dibanding saat dia berada dalam kelas yang dominan lecturing. Karena dia merasa aman untuk menyampaikan pendapatnya. Dan mereka tidak segan untuk mengangkat contoh-contoh yang dia alami dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga mereka, tanpa sadar, sudah menarik materi menjadi relevan dengan kehidupannya. 


Saya sendiri merasakan kenikmatan yang adiktif dalam merancang dan melakukan fasilitasi pembelajaran aktif. Proses berfikir kritis saya rasakan lebih saat tahap merencanakan, bisa mengambil waktu yang lama. Mencoba mencari aktifitas yang tepat, merumuskan pertanyaan yang pas, semua itu tidak mudah, dibutuhkan nalar yang bagus. Namun, kebahagiaan dan kenikmatan tertinggi saat implementasi dalam kelas, disanalah kebahagiaan itu muncul dan menular dengan cepat sehingga muncul Antusiasme.


Diakhir proses biasanya saya berterima kasih karena antusiasmenya. Dan jika kita googling apa arti kata antusiasme, dia memiliki makna relijius. Berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “in-god” atau “inspiration or possession by god”. Seseorang yang antusias adalah seseorang yang mewujudkan keagungan Tuhan dalam dirinya. Saya bilang "sepanjang proses belajar tadi, kalian menunjukkan antusiasme yang tinggi. Saya yakin kelas kita terang oleh cahaya keagungan Tuhan, terima kasih antusiasmenya" 


Sudah sepatutnya antara mahasiswa dan dosen bersama-sama merajut realitas dan menciptakan sebuah pemikiran dari satu proses belajar. Karena belajar pada hakekatnya adalah proses mencipta, mengalami, merasakan, menafsirkan dan bergembira. Rita Pierson percaya bahwa “learning should bring joy


Kita selalu menuntut anak anak kita untuk menjadi pembelajar seumur hidup namun kita selalu gagal memberikan kebahagiaan dalam proses belajar. Jika mereka menjadi pembelajar seumur hidup, lalu kapan mereka berhasil merasakan kebahagiaan itu? 


Wakatobi, 15 Februari 2022

 


(Artikel ini telah terbit di kolom Opini Harian Tribun Timur Makassar pada tanggal 16 Februari 2022 dengan Judul "Menuju Pembelajaran Membahagiakan)





Comments

Popular posts from this blog

Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda