TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS
“tidak semua anak harus ke universitas. Tidak semua anak harus ke universitas ditahun yang sama lulus SMA”
Kurang lebih seperti itu kata-kata Bapakku saat saya lulus di Universitas Hasanuddin beberapa tahun yang lalu. Saat itu, saya tidak terlalu hirau namun rasanya kata-kata itu menemukan realitasnya ketika beberapa waktu lalu cukup ramai perbincangan mengenai lulusan S1 salah satu universitas terbaik di Indonesia yang kalah bersaing dengan lulusan STM dalam mendapatkan pekerjaan.
Semakin tinggi sekolah, makin sukses
Kenapa anak-anak kita “paksakan” agar masuk ke universitas? Dugaan berbasis pengalaman dan pengamatan sederhana saya adalah karena jika lulus SMA dan tidak ke universitas, maka anak akan dengan spontan kita labeli gagal, atau tertinggal, atau bodoh atau minimal “aduh kasihan sekali.” Akibatnya keluarga akan malu jika ada anggota keluarga yang gagal masuk universitas. Maka berlomba-lombalah orang berusaha semaksimal mungkin, jika bisa segala macam cara, agar anaknya diterima di universitas. Kalau bisa universitas yang besar dan ternama dengan akreditasi terbaik. Biar tidak bikin malu.
Menjadi mahasiswa, apalagi universitas ternama, adalah hal yang bisa dibanggakan karena telah sejak lama terbentuk persepsi masyarakat bahwa universitas statusnya lebih tinggi. Mereka yang di universitas dicitrakan memiliki intelektualitas yang lebih tinggi dibanding institusi pendidikan pasca SMA lainnya. Sederhananya: lebih pintar.
Dari aspek luaran, dengan gelar sarjana ditangan, seseorang bisa memilih lebih banyak jenis pekerjaan. Apalagi profesi seperti dokter, bidang hukum atau manajemen membutuhkan gelar minimal sarjana. Bekerja dilembaga pemerintahan memang sudah menurun peminatnya tetapi masih tetap terbanyak diantara pilihan kerja yang lain, dan lembaga pemerintah kebanyakan membutuhkan orang dengan gelar minimal sarjana. Tanpa gelar sarjana, seseorang memang bisa mendapatkan pekerjaan namun pada level yang lebih rendah dibanding mereka yang daftar dengan gelar sarjana. Hal hal diataslah yang mengkontruksi pemikiran bahwa “semakin tinggi sekolah, semakin sukses seseorang.”
Berbasis pemikiran itulah, kita berusaha agar anak-anak kita masuk ke universitas. Dari pengalaman saya yang masih minim menjadi dosen di universitas, beberapa kali saya mendengar kolega dosen yang mengeluh karena mahasiswa tidak seperti yang mereka harapkan. “disuruh menulis artikel ilmiah tidak beres” atau “logika sederhana saja kacau” atau “disuruh berdiskusi malah banyak yang diam” itu kurang lebih ekspresi kekecewaan dosen terhadap mahasiswa yang pernah saya dengar langsung. Keluhan dari mahasiswa pun bukan tidak ada: “aduh beratnya itu baca artikel ilmiah” atau “beratnya tugasnya” atau “bosanku dikelasnya itu dosen” adalah diantara beberapa keluhan mahasiswa. Realitas kehidupan di universitas tidak seindah yang orang bayangkan.
Universitas hadir untuk memenuhi kebutuhan akan beberapa aspek seperti pengembangan karakter, keterampilan, akhlak pengembangan kebudayaan. Namun saya ingin menekankan pada dua aspek yang menurut saya penting yaitu produksi dan transfer ilmu pengetahuan. Produksi ilmu pengetahuan dilakukan dengan riset dan transfer ilmu pengetahuan kepada mahasiswa atau kepada publik diluar universitas dilakukan dengan pengajaran atau pengabdian kepada masyarakat. Kedua aspek tersebut adalah sebuah siklus.
Saya mengangkat dua aspek diatas menjadi penting dalam opini ini karena keduanya sangat membutuhkan keterampilan tertentu, seperti misalnya berfikir kritis. Artinya, anak-anak yang lulus SMA dan memilih ke universitas sudah harus benar-benar terampil. Namun, hasil penelitian oleh Maya dan Kate (2022) menyatakan bahwa guru-guru di Indonesia masih sulit mengajarkan critical thinking. Tidak heran jika keluhan-keluhan seperti disebutkan diatas seringkali kita dengar.
Yang penting sarjana?
Riset yang dilakukan oleh IDNTimes tahun 2022 lalu mengungkapkan lima faktor utama yang membuat orang diterima bekerja. Secara berurut yang pertama; skill yang dimiliki, kedua; pengalaman yang menunjang, ketiga; jaringan atau networking, keempat; keseuaian karakter diri dengan perusahaan, kelima; gelar pendidikan dan keenam: pengetahuan dari teori kerja. Pada penelitian yang sama juga dilaporkan bahwa terdapat 33,7% mengaku pekerjaan mereka tidak linear dengan pendidikan.
Saat ini tengah menjadi trend global dimana perusahaan tidak lagi terlalu mengandalkan academic degree dan lebih fokus pada keterampilan. Perusahaan besar dunia seperti Google, Bank of America, General Motors, IBM, Tesla sudah menghapus gelar akademik pada pekerjaan yang sebelumnya mengharuskan gelar akademik. Di Indonesia pun trennya sama, terutama diperusahaan startup atau yang bergerak dibidang IT. Inovasi-inovasi teknologi maupun inovasi sosial juga bisa lahir diluar universitas.
Pemerintah Indonesia sudah sejak lama mengembangkan pendidikan vokasi yang lebih fokus mengembangkan keterampilan terapan. Meskipun serapan tenaga kerja lulusan vokasi masih dibawah 50% namun pendidikan vokasi sudah mulai banyak dilirik. Beberapa universitas ternama di Indonesia pun membuka pendidikan vokasi yang menurut saya itu adalah strategi dari universitas untuk tetap eksis dalam pasar pendidikan.
Universitas jalan satu-satunya menuju sukses?
Memang akan lebih bagus jika anak-anak sudah punya bayangan akan melakukan atau bekerja apa nantinya berdasarkan passion dan keterampilannya. Jika sukses kita artikan sebagai bermanfaat bagi orang banyak, maka banyak sekali kita lihat contoh disekitar kita orang-orang yang sukses tanpa gelar sarjana. Mereka bisa menemukan inovasi-inovasi yang tepat dalam menyelesaikan tantangan hidup orang banyak.
Saya ingin mengakhiri opini ini dengan memberikan selamat kepada kalian yang diumumkan lulus UTBK-SNBT hari ini. Jalani takdir yang kalian pilih dengan ikhlas menerima segala konsekuensi yang muncul dalam proses pengembangan diri. Jangan sombong karena kalian belum tentu lebih terpuji. Untuk kalian yang tidak lulus dan masih bersedih dan merasa malu, tidak harus ke universitas, kan?
*Tulisan opini ini telah terbit pada harian Tribun Timur pada hari Selasa, 20 Juni 2023
Comments
Post a Comment