Merasakan Indonesia Timur di Belanda
Selama empat tahun terlibat di Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), saya berkesempatan menjelajahi banyak tempat di Papua, Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Saya tak hanya menyaksikan panorama alam yang mempesona yang dikenal sebagai “surga kecil jatuh kebumi” tetapi setiap interaksi dengan keberagaman budaya, dari upacara tradisional hingga pertunjukan, telah membuka mata saya pada kekayaan tak terhingga dari warisan budaya Indonesia Timur.
Tidak hanya alam dan budaya, tetapi juga kebaikan dan keramahan masyarakat setempat menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman ini. Mereka bukan sekadar tuan rumah yang ramah, tetapi juga membuka pintu hati dan cerita, memberikan pengalaman yang hangat dan berharga. Kesederhanaannya mengajarkan banyak hal tentang kehidupan, memberikan makna akan pentingnya toleransi dan keberagaman. Mengalami keindahan alam, kekayaan budaya, dan keramahan masyarakat di Kawasan Timur Indonesia telah menyadarakan saya pada pesona eksotis yang tak terlupakan.
Awal bulan November, saya mendapatkan informasi dari instagram Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag @indonesiainthehague tentang Festival Indonesia Timur dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2023 di Den Haag, Belanda. Kegembiraan melanda, imajinasi tentang Indonesia timur memenuhi pikiran. Bersama istri, kami merencanakan malam yang spesial, akan meramaikan festival ini.
Pagi tanggal 2 Desember, suasana rumah kami dipenuhi oleh harmoni lagu-lagu bernuansa Indonesia timur: ada lagu "Timur" dari Glenn Fredly, ada lagu Rame-Rame, Papua dalam Cinta, Beta Seng Marah, Parcuma, dan lainnya. Penggalan lirik favorit dari lagu "Timur" —"Wo oh, ikutilah iramaku, Wo oh, berdendanglah bersamaku, Wo oh, menarilah denganku, Aku di sini, engkau di sana, ayo kembali ke timur"— menjadi sumber keceriaan pagi itu.
Meskipun cuaca minus 2 derajat Celcius, semangat kami tak tergoyahkan. Kami berangkat dari Amsterdam menuju De Broodfabriek, Rijswijk, Den Haag, tempat festival berlangsung. Bayangan akan merasakan kembali Indonesia Timur sudah menghiasi pikiran kami. Musik, makanan lezat, nyanyian memikat, bunyi tifa, dan tarian yang menggoda seperti Poco-Poco, goyang Tobelo, dan Sajojo adalah kepingan cerita kehidupan di Indonesia Timur yang kami nantikan.
Kami tak sabar untuk bergoyang dan bernyanyi bersama, menikmati suara merdu penyanyi Ambon serta memamerkan goyangannya. Tidaklah mengherankan jika salah satu daerah di Indonesia Timur itu dinobatkan sebagai kota musik. Saya teringat cerita beberapa tahun lalu saat melaksanakan kegiatan di kota Ambon, kami mencari penyanyi untuk penampil diacara penutupan. Informasi tentang kami mencari penyanyi ini sampai ditelinga salah satu pejabat pemerintah Kota Ambon. Beliau bilang “eh, kenapa pusing cari penyanyi. Kau keluar hotel, ada orang lewat, kau tarik dia, pasti bisa nyanyi.”
Saya dan istri juga sudah membayangkan akan menyantap hidangan khas seperti Papeda, kripik ikan, dan kuliner kota kelahiran saya, coto Makassar, telah menggoda pikiran kami. Kami sudah tak sabar untuk menyelami aroma dan rasa dari Indonesia Timur dibawah langit gloomy Belanda dan cuaca yang dingin tetapi penuh dengan kehangatan suasana festival.
Bagi saya, festival Indonesia Timur pertama di Belanda tidak hanya sekadar perayaan, tetapi sebuah panggung yang mempersembahkan kekayaan budaya dan produk-produk unggulan dari Indonesia Timur. Saat memasuki festival, pengunjung disambut oleh deretan booth yang menawarkan berbagai produk dengan kekhasan masing-masing, mulai dari kain tradisional NTT yang warnanya memikat, hingga keindahan kain Papua yang sarat makna budaya. Booth-booth ini bukan hanya sekadar tempat transaksi, tetapi seolah menjadi jendela yang membuka dunia Indonesia Timur bagi masyarakat Belanda. Kain-kain khas dari NTT, Papua, Ambon, dan Sulawesi Utara menjadi daya tarik utama, menonjolkan keindahan corak, warna, dan motif yang menjadi ciri khas setiap daerah.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Dubes Mayerfas, festival Indonesia Timur pertama ini diselenggarakan dengan tujuan mempromosikan produk-produk, kuliner, dan kekayaan budaya guna mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan Indonesia Timur. Festival ini juga dirancang sebagai wadah bagi komunitas Indonesia Timur untuk berkolaborasi dan memelihara komunikasi yang harmonis. Perlu diingat bahwa dari kurang lebih 1.7 juta diaspora Indonesia di Belanda (2021) mayoritasnya berasal dari Indonesia Timur.
Sementara Armand van de Laar, Vice Mayor Risjwijk, menyampaikan apresiasi atas pelaksanaan festival ini sebagai ajang memperingati warisan budaya Indonesia, serta untuk menggambarkan hubungan antara Belanda dan Indonesia. Hubungan yang seringkali rumit, namun biasanya hangat dan kaya, terjalin dalam banyak keluarga. Armand mengungkapkan bahwa keluarganya juga memiliki hubungan dengan Indonesia. Baginya festival budaya bukan sekadar pertemuan biasa tetapi adalah pintu gerbang ke jiwa suatu komunitas. Arman menutup sambutannya dengan mengatakan “hari ini, kita memulai petualangan untuk mengeksplorasi, meresapi tradisi, seni, musik, dan rasa yang membuat setiap budaya begitu istimewa, sama seperti kekhasan budaya Indonesia."
Dubes Mayerfas, bersama dengan Armand van de Laar, serta perwakilan komunitas Indonesia Timur di Belanda, mengibarkan semangat festival ini. Mereka membuka acara dengan meriah, menabuh tifa bersama-sama sebagai simbol kebersamaan dan kekompakan.
Duta Besar dan Vice Mayor Risjwijk menabuh Tifa membuka acara Festival (sumber foto: www.kemlu.go.id) |
Foto bersama Dubes, Vice Mayor dan perwakilan komunitas Indonesia Timur (sumber foto: www.kemlu.go.id) |
Saat saya memasuki gedung, seketika imajinasiku tentang Indonesia Timur yang penuh warna menjadi nyata. Musik modern bersanding dengan irama tifa, menciptakan atmosfer yang memukau. Di depan panggung, kursi-kursi disusun terbuka, mengundang orang-orang untuk bersorak dan berdansa.
Foto beberapa penampil (sumber foto: www.kemlu.go.id) |
Ketika musik Sajojo dibawakan, lantai depan panggung seketika dipenuhi oleh penonton yang sudah menunggu untuk bergoyang dan menikmati momen tersebut. Salah satu diaspora Indonesia, Sunarti Tutu, hadir bersama anaknya Daniela. Mereka menikmati festival ini dengan antusias. Sunarti bahkan merasa bangga bisa membeli pakaian khas Indonesia Timur untuk Daniela. “Bisa dipakai diacara resmi” katanya. Sunarti tidak mau ketinggalan ikut berjoget saat lagu Tobelo dibawakan oleh Roy Tuhumury and Friends.
Penuh kegembiraan, Sunarti berbagi, “Senangku ada festival Indonesia Timur ini, kita bisa makan-makan, ketawa-ketawa, dan bebas joget bersama.” Dia berharap acara semacam ini dapat terus diadakan, menghadirkan seniman, penari, dan penyanyi dari Indonesia Timur.
Foto beberapa diaspora Indonesia (sumber foto: Sunarti Tutu) |
Meski malam semakin larut, antusiasme pengunjung tak kunjung reda. Yosina Roemajauw, seorang gadis kelahiran Papua yang kini menjadi bintang di Belanda setelah memenangi The Voice Kids Belanda 2018, menjadi penampil spesial dan sebagai penutup acara. Yosina juga membawakan lagu yang berjudul Komang oleh Raim Laode tapi dengan lirik dalam bahasa Belanda.
Saya salah satu dari ribuan pengunjung sangat menikmati festival ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih dan menaruh harapan kepada KBRI di Den Haag yang telah menyelenggarakan festival ini. Semoga festival Indonesia Timur akan terus menjadi tradisi di tahun-tahun mendatang. Kawasan Timur Indonesia adalah bagian penting dari masa depan Indonesia, seperti kalimat sarat makna yang diungkapkan oleh mendiang Glenn Fredly: "Indonesia tidak akan pernah menjadi Indonesia, tanpa Papua, Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi."
Penggalan lirik dari "Timur" oleh Glenn Fredly dibawah ini akan terus mengingatkan akan keindahan dan kekayaan Indonesia Timur.
Deburan ombak dan butiran pasir putih,
Bagaikan mutiara yang menari-nari,
Senyum manismu, surga di bumi,
Membawaku kembali.
Sampe Bakudapa!
*artikel ini ditulis pada tanggal 4 Desember 2023
Photobooth (dokumen pribadi) |
Bersama Istri (dokumen pribadi) |
Mendapatkan hadiah kuis (dokumen pribadi) |
Comments
Post a Comment