Sakralnya Gelar Professor dan Perlukah Desakralisasi?

Sakralnya Gelar "Professor"

"Iye Prof" atau "Iye, baik Prof" adalah jawaban yang biasanya diberikan oleh mahasiswa kepada dosennya yang punya gelar Professor. Dalam beberapa kasus, mahasiswa kadang bercanda "kalo ngomong sama Prof, harus membungkuk sedikit dan kedua tangan harus sambil pegang *** (itu).

Dalam debat kandidat cawapres lalu, Gibran mengatakan "ini tadi tidak saya jelaskan karena kan beliau kan seorang Professor" yang mungkin kata-kata ini didasarkan pada kepercayaan bahwa "professor pasti tahu segalanya" bahkan singkatan-singkatan bahasa asing pun pasti dia tahu. 

Pada konteks Indonesia, guru adalah profesi yang dianggap mulia karena diyakini gurulah yang membuat seorang manusia menjadi berguna bagi masyarakat dan membawa kebaikan. Oleh karena itu, guru, selain mulia, juga adalah manusia yang super hebat. Bayangkan bagaimana hebatnya seorang GURU BESAR atau seorang "Professor." Mulianya double-double. Setengah dewa kapang!

Berhadapan dengan seorang yang bergelar Professor, kita menjadi mudah takluk. Kita seolah harus ikhlas menyerahkan otoritas milik beliau, baik itu otoritas keilmuan ataupun hal lain. Saya pernah dengar sendiri pada satu acara non-akademik dan dilaksanakan diluar kampus, ada yang bilang "weh jangko kasih duduk dibelakang itu bapak, Professor itu." Bahkan untuk urusan kursi pun, kita harus ikhlas menyerahkannya pada seseorang dengan gelar Professor. Meskipun kita tidak kenal dia.

Untuk urusan keilmuan, tentu saja seorang Professor memiliki pengetahuan yang mendalam, karena telah fokus melakukan riset yang bertahun-tahun lamanya. Paling tidak sudah menghasilkan teori baru. Bahkan berkontribusi pada filsafat keilmuan, yang filsafat ini bersifat lintas-displin ilmu. Yaah namanya juga filsafat ilmu. 

Tidak gampang menjadi seorang Professor. Perjalanannya panjang. Riset-riset dan pengetahuan yang diproduksinya memang orisinil. Tidak sembarangan, harus melalui review keilmuan yang ketat oleh ahli-ahli yang ternama dan (pasti) diakui kepakarannya dikalangan akademik. Disini memang terkesan sangat otoritatif, tapi memang begitulah karakteristiknya dunia akademik.

Nah begitulah konteks budaya kita yang sangat memuliakan seseorang dengan gelar Professor. Apakah semua perlakukan kita kepada seorang yang menyandang gelar Professor itu salah? Jawaban saya tegas: Tidak Salah! Memuliakan orang yang akan membuat manusia lain dan ke-hidup-annya menjadi lebih baik, itu mulia! Gelar Professor adalah sakral (suci, keramat)

Perlukah desakralisasi gelar Professor?

Karakter "otoritatif" dunia akademik ini yang menjadi daya tarik banyak orang. Otoritatif disini berarti "memegang otoritas" untuk suatu hal. Sebagai pemegang otoritas, maka apa yang dikatakan benar, apa yang dia inginkan harus didukung, dia punya "kuasa" untuk "memerintah." Siapa yang tidak mau punya "kuasa"? Saya hanya bisa membayangkan, nikmatnya memiliki kuasa dan saat bersamaan, mendapatkan posisi "sakral" ditengah-tengah masyarakat plus nominal tunjangan yang cukup besar. Apalagi dengan gelar Professor membuka peluang untuk mendapatkan jabatan lebih tinggi. Minimal terbuka peluang kerjaan sambilan semisal Tim Pakar dst.

Berlomba-lombalah orang mendapatkan gelar Professor, yang dalam waktu belakangan ini, beberapa terbukti berusaha mendapatkannya dengan cara-cara yang menerabas aturan-aturan akademik. Hanya beberapa saja yang terbukti, meskipun menurut orang bahwa yang terblow-up sekarang adalah fenomena gunung es, alias banyak yang tidak ketahuan. Pernah (beberapa kali sih) telinga saya mendengar kata ketus "aah Professor apa itu" sebagai ungkapan kecewa terhadap kualitasnya. Mungkin yang kayak begini yang tidak ketahuan itu. Mungkin yaah!

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja memulai gerakan desakralisasi Professor di status facebooknya dan dilanjutkan dengan membuat surat edaran tentang tidak perlu menuliskan gelarnya dalam surat-surat yang dia tandatangani. Gerakan desakralisasi gelar Professor ini, memiliki dua tujuan; pertama, mengubah agar Professor tidak terlalu disakralkan (de-sakralisasi), dan kedua: ingin menciptakan sebuah relasi yang lebih egaliter dalam dunia akademik. 

Saya setuju gerakan ini terutama karena senang dengan alasan yang kedua diatas. Saya termasuk orang yang tidak terlalu suka berada dalam sebuah relasi, interaksi yang tidak terlalu setara. Hal itu menakutkan bagi saya, karena "kuasa" bisa membuat orang semena-semena, termasuk saya ketika punya kuasa (tidak semua orang begitu yah). Meskipun dunia akademik memiliki karakter otoritatif, tapi relasi antar individu di dunia kampus harusnya bisa dibuat lebih kolegial (bukannya memang harusnya begini yah?) relasi yang lebih setara harusnya lebih terasa. Siapapun, apalagi seorang Professor, akan lebih dihargai jika dalam relasinya dengan siapapun bisa menunjukkan sopan santun, penghargaan (respect), pengertian dan terbuka, serta menunjukkan interaksi yang lebih setara, atau tidak terlalu menguatkan sifat otoritatifnya (humility).

Perlukah gerakan desakralisasi ini? Saya jawab tegas: PERLU!

Tapi, meskipun sudah muncul gerakan desakralisasi gelar Professor, jangan otomatis membuat kita berfikir bahwa semua Professor itu tidak perlu kita hargai, bahwa semua Professor itu abal-abal. Menurutku penghargaan atau respect harus selalu ada. Namun tidak perlu terlalu disakralkan, seolah Professor itu manusia yang terbebas dari salah. Ingat: "Professor juga manusia" (jangan cari di Spotify, nda ada!)

Saya selalu membayangkan acara pengukuhan guru besar itu adalah acara yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang haus ilmu pengetahuan dan berasal dari disiplin ilmu manapun juga. Karena diacara pengukuhan itu, orang akan mendengarkan pidato yang isinya refleksi keilmuan dari seorang ilmuan yang telah lama tenggelam dalam riset dan telah menghasilkan banyak pengetahuan. Sebuah refleksi mendalam yang bisa saja menggetarkan dasar-dasar keilmuan yang telah ada. Bukan hanya orang datang ke acara itu karena ada makan-makan dan mau melihat berderet-deret karangan bunga ucapan selamat, kata seorang kolega. 

Sekarang, kurang ajarkah jika saya memanggil "Pak" atau "Ibu" kepada seseorang dengan gelar Professor? Saya ingin mengutip seorang kolega yang bergelar Professor disalah satu WAG: "Kalo saya: lebih senang dipanggil Pak atau Kak S***.. tapi saya tidak mungkin memaksa orang untuk tidak panggil Prof.. dan saya tetap akan menjawab sama meski tidak dipanggil Prof."

Saya membalasnya dengan: "Mantap, Capt.!"

Oh iya, sepanjang tulisan ini, saya menulis kata Professor dengan huruf P (kapital). Mungkin pelan-pelan saya sudah tidak akan takut untuk menuliskannya dengan huruf kecil saja.

*micdrop

Comments

  1. Waktu kuliah magister di Jogja, professornya lebih senang dan mau disapa Mas. Mereka malah sering nongkrong bareng mahasiswa di kantin sambil ngopi bareng.

    ReplyDelete
  2. Sikap tenggang rasa semacam ini yang diperlukan. Walau penerapannya di wilayah yang begitu kental feodalismenya masih akan terasa sulit, bahkan dalam kurun beberapa tahun ke depan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. harus ada yang mulai kalau begitu, biar bisa agak dipercepat yaah

      Delete
  3. Setuju sekali ka sama ini adek

    ReplyDelete
  4. Kalau bbrp kampus di jawa setau saya profesornya mmg tegas ga mau dipanggil prof, entah klo di daerah lain bgmn.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIDAK HARUS KE UNIVERSITAS

Merasakan Indonesia Timur di Belanda